“Pemekaran menjadi istilah yang tidak asing dan sering muncul di berbagai wacana akhir-akhir ini. Pemekaran yang sedianya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata di lapangan tidak selalu demikian. Bahkan” saat inipun masyarakat umumnya sudah tahu bahwa ‘moratorium’ atau jeda pemekaran yang sering didengung-dengungkan Pemerintah dan DPR selama ini hanyalah ‘main-main’ atau ‘tipuan belaka’.
Buktinya, saat ini dimana rakyat kecil tercekik kemelaratan, pengangguran dan berbagai musibah bencana alam dan penyakit, kedua lembaga itu masih saja asyik dengan ‘proyek’ pembahasan RUU pemekaran/pembentukan daerah baru. Padahal masih banyak RUU lain yang lebih penting yang seharusnya mendapat prioritas untuk dibahas.
Silakan cek Prolegnas. Dalam kaitannya dengan ‘proyek’ pemekaran daerah ini, DPR, katimbang Pemerintah, nampak sangat bernafsu untuk ‘buru-buru’ menyelesaikannya. Kasus pemekaran daerah secara besar-besaran di era ‘reformasi’ saat ini menunjukkan bagaimana masa depan daerah dan masyarakatnya, bahkan masa depan Negara dan bangsa Indonesia ini, dipertaruhkan oleh para politisi yang mungkin sebagian kurang berwawasan kenegaraan dan tidak mempunyai kompetensi atau keahlian yang cukup untuk menentukan suatu daerah layak/tidak untuk dimekarkan.
Memang benar bahwa provinsi-provinsi pemekaran seperti Gorontalo, Banten dan Maluku Utara bisa dikatakan ‘cukup sukses’ membawa misi pemekaran untuk peningkatan pelayanan publik, memperpendek rentang kendali dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Memang benar juga bahwa sebagian kabupaten/kota pemekaran di Kalimantan menuai hasil pemekaran.
Namun jumlah daerah pemekaran yang relatif sukses tidak sebanding dengan sekitar 80% daerah pemekaran yang bermasalah karena dugaan kasus-kasus korupsi DAU, rekrutmen pegawai daerah pemekaran yang tidak fair (berbau kroniisme, kekeluargaan dan sukuisme (nepotisme), serta politik uang), munculnya bisnis-bisnis dadakan pejabat daerah/politisi lokal atau keluarganya, konflik tapal batas wilayah (yang tidak jarang tumpang tindih dengan kepentingan partai tertentu), konflik asset daerah, konflik lokasi ibukota baru, konflik antar elit lokal , konflik horizontal, dll.
Pemekaran wilayah bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sekitar 10 tahun setelah Republik Indonesia berdiri pernah terjadi pemekaran secara besar-besaran, yaitu misalnya pada tahun 1950-1955 dibentuk 6 provinsi baru dan 99 kabupaten/kota.
Jumlah tersebut meningkat pada tahun 1956-1960 menjadi 16 provinsi dan 145 kabupaten/kota di Negara kita. “Reformasi teritorial” atau reformasi kewilayahan pada waktu itu barangkali berkaitan dengan semangat republikan dan semangat persatuan-kesatuan daerah-daerah pasca penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.
Perlu dicatat, sistem pemerintahan lokal di jaman Belanda membedakan Jawa dengan Luar Jawa. Waktu itu pernah dikenal daerah yang kalau saya tidak salah dan perlu dicek lagi, disebut dengan gewest yang dikepalai gubernur atau kepala gewest, karesidenan, afdeling, onderafdeling, district (di Jawa dipimpin Wedana, di luar Jawa dipimpin Demang atau Kepala Distrik), onderdistrict, dan yang terendah adalah wilayah-wilayah volksgemeinschappen (desa, negeri, nagari, kuria, gampong, dll.).
Lalu pada jaman pendudukan Jepang dikenal daerah-daerah yang disebut dengan Syuu (karesidenan), Si (Stadsgemeente), Ken (regentschap), Gun (distrik/kawedanan), Son (onderdistrict) dan Ku (desa). Apakah pembentukan daerah-daerah di Indonesia tahun 50-60an tersebut sama sekali mengubah apa yang telah ada di jaman Belanda dan Jepang, memerlukan pengkajian lebih lanjut.
Barangkali pembentukan daerah-daerah di masa penjajahan tersebut bisa menjadi bahan atau masukan untuk memperkirakan berapa sebaiknya jumlah ideal provinsi dan kabupaten/kota di nenara kita di masa depan yang selama ini kita perdebatkan. Kalau mengikuti pendapat G.Ferrazi dari DRSP-USAID (2006), bila Indonesia akan mengadakan reformasi kewilayahan (territorial reform), maka tidak hanya sebatas memperhitungkan ukuran wilayah, penduduk, PAD dsb, untuk menentukan berapa baiknya jumlah provinis/kabupaten/kota di Indonesia, namun juga harus dipikirkan seperti apa prinsip-prinsip otonomi dan hubungan Pusat-Daerah di Indonesia yang akan dibangun sehingga membantu tercapainya tujuan politik dan sosial ekonomi di Negara kita.
Pemekaran daerah secara terbatas juga terjadi pada masa Orde Baru. Namun pada waktu itu efisiensi dan kestabilan sebagai‘;ideologi’ UU 5/74, sangat ditonjolkan. Artinya, suatu daerah otonom baru hanya mungkin mendapatkan status otonomi setelah melalui fase persiapan atau transisi.
Contoh, sebuah wilayah untuk bisa menjadi kotamadya otonom, harus melalui fase sebagai kota administratif terlebih dahulu selama beberapa tahun Faktor persiapan atau transisi inilah yang hilang atau dilalaikan oleh UU No.22/99 maupun UU No.32/2004. Jumlah daerah baru di masa reformasi selama ini hampir-hampir tidak terkendali sebagai dampak dari perubahan paradigma sentralisasi ke desentralisasi, menguatnya posisi tawar daerah imbas dari tuntutan M (merdeka) dan F (federalisme) beberapa daerah, dan karena lemahnya kepemimpinan nasional di Jakarta di era transisi/pasca jatuhnya Soeharto.
Ryaas Rasyid sebagai “Bapak Desentralisasi” yang membidani lahirnya UU No.22/99 mungkin juga tidak menduga kalau pemekaran di era ‘reformasi’ selama hampir 10 tahuin terakhir ini ini sudah menjauh yang ia bayangkan karena sangat berorientasi kesukuan, kedaerahan dan bahkan sering diikuti dengan konflik-konflik.
Daerah-daerah pemekaran yang ada saat ini mayoritas bermasalah. Persyaratan jumlah kecamatan pun dipermainkan oleh daerah-daerah tertentu. Mereka secara sengaja memecah-mecah kecamatan yang telah ada menjadi sejumlah kecamatan sekedar untuk memenuhi persyaratan kedua UU itu. Parahnya lagi, pemerintah pusat diam saja atau tidak mengambil tindakan atas manipulasi pemecahan wilayah kecamatan tersebut. Yang lebih ironis lagi, ada beberapa daerah pemekaran yang kalau ditilik dari jumlah penduduk dan potensi PAD mereka sangat kecil, toh akhirnya diloloskan pula oleh DPR.
Disediakannya Dana Alokasi Umum (DAU) oleh Pusat di daerah baru, tersedianya peluang-peluang ekonomi baru dan jabatan-jabatan baru di DPRD dan birokrasi lokal, serta peluang elit lokal untuk mengubah perimbangan etnis/agama di daerah baru, menjadikan pemekaran daerah sangat atraktif bagi para elit. Masyarakat grass-roots mereka mobilisasi dan mereka gunakan untuk menekan DPR dan Pemerintah melalui demo-demo, boikot dan aksi-aksi anarki.
Pemekaran daerah selama ini mempunyai relevansi kuat dengan mobokrasi dan fragmentasi di tingkat lokal yang menasional. Pemekaran saat ini menurut saya menjauhi filosofi Bhinneka Tunggal Ika sebagai fundamen penting kemajemukan dan kebangsaan Indonesia.
Mungkin karena negara kita saat ini banyak dipimpin politisi, pejabat dan elit yang oportunis, baik di tingkat nasional maupun lokal, maka mereka tidak peduli lagi dan mungkin tidak mempunyai pemikiran atau konsep bagaimana Indonesia di masa depan. Buat mereka yang paling penting adalah saat ini dan sekarang. Kebetulan rakyat kita sebagian besar hidup dalam kemiskinan dan mereka memerlukan pekerjaan yang layak. Mereka itu umumnya tidak sabaran, cepat marah dan butuh solusi cepat untuk kebutuhan perut dan keluarganya.
Keterbatasan-keterbatasan rakyat inilah yang sering digunakan oleh para elit untuk menggapai ambisi mereka dengan melalui ‘kendaraan’ pemekaran daerah. Rakyat di daerah ‘diiming-imingi’ dengan pemekaran dan setelah dimekarkan rakyat akhirnya hanya dibuatkan jembatan, jalan, listrik dan mungkin beberapa proyek kecil lainnya. Sebagian besar dana lainnya habis untuk pejabat, politisi, pengusaha, LSM ‘plat merah’ dan PNS di daerah yang baru dimekarkan.
Pemerintah dalam kasus pemekaran yang hampir tidak terkontrol ini, terlihat dalam posisi lemah, atau tepatnya , akomodatif untuk mencari ‘aman’ terhadap tekanan lembaga ‘superbody dan superpower’, yaitu DPR-RI. Idealnya partainya SBY (Partai Demokrat/PD) yang harus mendominasi kursi DPR dan mempunyai sikap tegas, misalnya, sangat selektif terhadap usulan pemekaran. Tapi hal itu menjadi impian belaka karena PD hanya partai kecil di DPR.
Sedangkan Partai Golkar yang berkoalisi dengan Partai Demokrat, sangat diuntungkan oleh pemekaran daerah. Tentu saja Golkar akan welcome terhadap proposal-prosoal pemekaran. Bahkan sekarang sebagian anggota DPD-RI juga ikut-ikutan politisi-politisi di DPR menjadi ‘broker’ pemekaran.
Kalau menurut saya, DPR dan DPD bukanlah lembaga yang tepat untuk menilai suatu daerah itu layak/tidak layak dimekarkan. Kenapa? Karena pertimbangan-pertimbangan mereka didominasi oleh alasan-alasan politis, uang, jabatan atau semata-mata demi keuntungan partai atau golongannya saja. Rasionalitas dan efisiensi sering mereka tinggalkan dengan meminjam idiom-idiom ‘demokrasi’, ‘pro-NKRI’, dan ‘aspirasi masyarakat/ konstituen’.
Solusinya, aturan main dalam pembuatan RUU inisatif DPR harus dirubah secara mendasar sehingga memberikan posisi dan kekuasaan yang setara kepada Pemerintah/eksekutif untuk menolak pembahasan RUU pembentukan daerah baru/pemekaran wilayah inisiatif DPR apabila dipandang tidak memenuhi syarat. Saya sangat setuju dengan pendapat-pendapat yang menyatakan pemekaran daerah adalah domainnya eksekutif. Hal ini karena eksekutif lebih memiliki kelengkapan data, keahlian, jaringan birokrasi serta tenaga ahli dalam kuantitas dan kualitas yang memadai.
Dalam kasus pemekaran ini sebenarnya para anggota DPR dan DPD sedang diuji tingkat kenegarawanan dan kearifan mereka, bersediakah mereka untuk memfokuskan diri menjadi lembaga pengontrol atau pengawas eksekutif saja? Pemekaran daerah saat ini banyak yang buruk hasilnya karena lembaga-lembaga DPR dan DPD yang seharusnya mengontrol dan mengawasi pemerintah, justru ikut-ikutan ‘bancakan’ atau ‘pesta’ pemekaran wilayah.
Menurut informasi yang saya peroleh, daerah-daerah pemekaran yang gagal kebanyakan adalah yang diusulkan oleh DPR. Di pihak lain memang eksekutif di masa reformasi ini seolah-olah sengaja ‘dimandulkan’ oleh sistem perundangan-undangan yang berlaku. Oleh karena itu perlu pengkajian kritis oleh para pakar terhadap UUD 1945 Amandemen IV dan semua perundang-undangan politik dan pemerintahan saat ini.
Jumlah parpol yang terlalu banyak tetapi yang memberikan kemaslahatan yang terlalu kecil kepada demokrasi substantif dan kesejahteraan rakyat banyak, dan sebaliknya parpol seringkali hanya menimbulkan konflik dan politik uang, saat ini sudah merupakan kebutuhan mendesak untuk segera disederhanakan sebagaimana sejumlah pakar dari LIPI pernah mengusulkan.
Namun karena suatu perubahan itu harus diperjuangkan, menjelang pemilu ini gerakan-gerakan mahasiswa dan civil society harus kembali bangkit, bahkan kalau perlu dengan demo-demo damai, untuk mempengaruhi DPR (dan Pemerintah) menuntut penyederhanaan jumlah partai dan memperkuat hak-hak eksekutif supaya lebih setara dan seimbang dengan DPR. Proses pembuatan dan pembahasan RUU yang saat ini sangat menguntungkan DPR, harus dicabut dan diganti supaya tidak menimbulkan tirani mayoritas DPR vis-à-vis Pemerintah (eksekutif). Antara lain dengan cara ini maka ‘obral RUU pemekaran’ bisa dikurangi secara gradual.
Saya tidak anti pemekaran karena menyadari masih banyaknya daerah-daerah di luar Jawa pada khususnya yang memerlukan pemerataan pembangunan fisik dan SDM. Tapi saya anti pemekaran yang hanya berorientasi emosionalitas kesukuan/keagamaan dengan meninggalkan faktor-faktor rasionalitas dan efisiensi. Kenapa? Karena dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan konflik (dengan atau tanpa kekerasan) dan permasalahan lainnya.
Pemekaran yang tidak rasional dan efisien mungkin merupakan solusi jangka pendek, tapi kemungkinan besar akan menjadi malapetaka dalam jangka panjang. Bila seorang Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar– dalam seminar nasional AIPI di Manado tahun lalu –kebetulan saat itu saya juga menjadi pemakalah utama—dia meyakini bahwa pemekaran daerah perlu karena masih banyak daerah di Indonesia yang membutuhkan listrik, jalan dan jembatan, maka saya berpendapat bahwa bila hanya membutuhkan fasilitas-fasilitas tersebut, maka solusinya tidak harus dengan pemekaran daerah. Mungkin bisa dengan meningkatkan perimbangan keuangan Pusat-Daerah, dengan intervensi Negara mempercepat pembangunan daerah, dengan merevitalisasi peran gubernur untuk memimpin dan mengalokasikan sumber-sumber ke kabupaten-kabupaten /kota, dll.
Saya sangat meyakini bahwa pemekaran daerah haruslah menjadi satu paket design besar, dan tidak bisa dipisahkan, dengan konsep atau paradigma kebangsaan, hankam RI dan pemerataan kesejahteraan di masa depan. Pemekaran daerah supaya tidak membahayakan Negara dan bangsa kita, sebaiknya jangan hanya didekati dari pendekatan politis, teknis atau pragmatis-memburu rente sesaat.
Betapapun baiknya UU dan PP yang mengatur pemekaran, tetapi kalau dalam prakteknya didominasi oleh manipulasi, ‘politik dagang sapi’ atau politik uang’ (ditambah dengan arogansi dan pemaksaan kehendak oleh politisi-politisi di Senayan), maka tanpa ada hukuman atau sanksi apapun, maka pemekaran daerah yang tidak akuntabel dan rasional/efisien, yang hanya akan memperkaya pejabat, politisi dan pengusaha, akan terus berlangsung.
Sudah selayaknya para ahli mengembangkan model-model pemekaran daerah yang lebih rasional dan ekonomis, misalnya atas dasar pengembangan pembangunan kawasan industri terpadu, pusat-pusat pendidikan/ kebudayaan, eco-tourism, kelautan, kawasan transportasi terpadu, dll. Para pakar yang berintegritas keilmuan dan moral dari berbagai latar belakang disiplin ilmu itu pula (dari ilmu-ilmu sosial dan eksakta), yang sebaiknya mendominasi posisi-posisi penting di DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah). Pendapat para pakar DPOD harus independent dan obyektif serta mengikat, baik DPR, DPD maupun Pemerintah. Artinya DPOD yang saat ini ada (plus tim teknisnya) yang didominasi para pejabat dan minim tenaga ahli itu, sebaiknya segera dibubarkan karena ‘lemah’ dan tidak sungguh-sungguh menjalankan tugas kewajibannya –baik di ‘belakang meja maupun cross check di lapangan sehingga tahu kalau misalnya ada manipulasi data oleh tim daerah penyusun proposal–, sehingga melahirkan banyak sekali daerah pemekaran yang bermasalah.
Dedpagri/Pemerintah juga harus berani menolak pembahasan usulan DPR yang tidak layak. Bila Pemerintah SBY-JK takut menolak usulan pemekaran daerah dari DPR karena mencari ‘aman’, sebaiknya SBY-JK atau siapapun Presiden/Wapres RI yang akan datang, mengundurkan diri saja. Mungkin hanya dengan cara itu SBY-JK akan dapat mengingatkan politisi-politisi di Senayan dan elit-elit lainnya bahwa pemekaran wilayah yang sangat berorientasi kesukuan, agama dan politik, akan membahayakan integrasi, kemajemukan dan hankam Indonesia di masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar