Tulisan ini ingin memaparkan bagaimana kedudukan deposito yang seharusnya dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, sehingga masalah deposito pemda dapat dipandang secara proporsional.
Pada dasarnya deposito di bank ditetapkan pada jangka waktu tertentu (misalnya: 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan) tergantung kesepakatan antara penyimpan dengan bank. Dalam pengelolaan keuangan daerah, deposito dilaksanakan dalam rangka manajemen kas dan harus dilaporkan dalam laporan keuangan pada akun investasi jangka pendek dalam neraca daerah.
Dalam sebuah pemerintahan manapun pasti memiliki budget atau anggaran. Budget atau anggaran adalah rencana kebutuhan dana suatu pemerintah daerah yang diaktualisasikan dalam bentuk angka-angka dan jumlah tertentu. Penganggaran juga merupakan navigasi bagi pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuannya secara efektif terukur. Tanpa budget atau anggaran, berarti pemerintah tidak memiliki rencana, dapat dipastikan pemerintahan tersebut tidak akan terselengara dengan baik atau bahkan chaos. Karena tanpa budget, pelaksana kebijakan di daerah akan kesulitan dalam melakukakan tindakan-tindakan terkait dengan pengeluaran dan penerimaan dalam mewujudkan pelayanan kepada masyarakat. Kondisi ini akan berbahaya sekali apabila pengeluaran-pengeluaran pemerintah daerah seperti gaji aparatur dan pembayaran kepada vendor/rekanan tidak terbayar oleh pemerintah daerah.
Untuk pemerintah daerah kabupaten/kota penganggaran biasa dikenal dengan sebutan APBK (Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten). APBK disusun untuk periode satu tahun yang komponen-komponennya terdiri dari; pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Idealnya sebuah APBK disusun secara berimbang, artinya antara pengeluaran dan pendapatan harus sama. Dalam hal APBK yang disusun mengalami defisit yang artinya pengeluaran lebih besar dari pendapatannya, maka kekurangan tersebut harus ditutupi dengan pembiayaan neto yang positif (sebesar nilai defisit). Sebaliknya, jika pemerintah daerah mempunyai dana berlebih, sehingga pemda tersebut dapat mengalokasikan pengeluarannya dalam jumlah yang sedemikian besar atau mengalami surplus, maka terhadap suplus tersebut dapat digunakan untuk pengeluaran pembiayaan. Penggunaan dana surplus harus dilakukan pada investasi-investasi yang dapat memberikan hasil pada masa-masa yang akan datang (misalnya: investasi pada perusahaan daerah, pemberian pinjaman kepada daerah lain, penyertaan pada BUMN dan lain-lain).
APBK biasanya sarat dengan kepentingan, pada hakikatnya APBK harus disusun dan dilaksanakan semata-mata untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien dan efektif, oleh karena itu suatu rancangan ABPK harus disusun bersama-sama antara eksekutif dan DPRK sebagai wakil rakyat agar terjadi check and balance. Namun demikian, pada kenyataannya keterlibatan DPRK dalam persetujuan APBK tidak pula menjamin bahwa APBK disusun bebas dari kepentingan pihak-pihak tertentu. Sering APBK disusun bersifat kolutif yang mengakomodir kepentingan dua pihak, tentu saja mengatasnamakan kepentingan rakyat dengan memanfaatkan celah-celah (kelemahan) dari peraturan perundang-undangan. Satu sisi eksekutif (Pemda) mengakomodir kepentingan legislatif seperti pemberian berbagai tunjangan, perjalanan dinas dalam bentuk berbagai studi banding, kendaraan dinas dan sebagainya yang memanjakan hidup kaum legislatif, sementara sisi lain DPRK juga mengakomodir kepentingan pemda dalam berbagai bentuk seperti pengadaan mobil dinas super mewah bagi para pejabatnya, biaya perjalanan dinas tidak penting dan berbagai tunjangan lainnya yang sering kali tidak berhubungan dengan kinerja. APBK yang disusun dalam pola seperti ini sangat merugikan kepentingan rakyat. Oleh karena itu masih diperlukan pengawasan masyarakat secara komprehensif dalam setiap tahapan penyusunan dan pelaksanaan APBK.
Reformasi pengelolaan keuangan negara/daerah telah dilakukan seiring dengan pemulihan ekonomi yang diterpa krisis multidimensi pada periode 1997 – 2003 dengan diundangkannya UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan turunannya sampai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengeloaan Keuangan Daerah. Dalam kondisi pemerintah mengalami surplus kas, deposito merupakan pilihan bijak dan tidak bertentangan peraturan perundang-undangan tersebut diatas. Justru merupakan kebijakan yang ironis, apabila seluruh dana idle dibiarkan dalam bentuk giro atau hanya disimpan dalam brankas.
Deposito dapat diatur jangka waktunya dan disesuaikan dengan waktu kas dibutuhkan. Kas dalam giro hanya diperlukan untuk pengeluran satu bulan ke depan, selebihnya seluruh dana dapat didepositokan dalam berbagai jangka waktu sesuai kebutuhan pengeluaran kas. Pemda yang mendeposito idle cash-nya memiliki potensi pendapatan dari selisih bunga deposito dengan jasa giro hingga mencapai 5 persej- 6 persen per tahun. Bayangkan bila giro hanya diberikan imbalan jasa giro sebesar 1% sementara bunga deposito mencapai 6 persen sampai dengan 7 persen per tahun dan dikalikan dengan jumlah idle cash dapat, tentu saja akan didapatkan hasil yang “fantastic”. Dapat dibayangkan berapa besar potensi pendapatan pemda dari hasil manajemen kas yang baik? Membiarkan dana idle dalam bentuk giro berarti membiarkan pihak lain memperoleh keuntungan atas dana murah, dalam hal ini bank yang menampung giro tersebut dan biasanya atas kebijakan dungu ini bank memberikan kick back (balas budi) kepada pejabat pemda yang memiliki otoritas pengelolaan dana tersebut.
Deposito tidak ada hubungan dengan hambatan pembangunan sepanjang deposito itu dilakukan semata-mata untuk pengelolaan kas (cash management). Deposito dapat dilakukan kapan saja sepanjang terjadinya idle money, baik sifatnya temporary maupun permanent. Justru dalam konteks ini deposito menguntung bagi keuangan daerah karena memberikan kontribusi terhadap tambahan PAD yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan.
1 komentar:
payah ...
Posting Komentar