A. PENDAHULUAN
Pemerintah daerah menyusun dan melaksanakan anggaran daerah untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada publik. Kualitas pelayanan tersebut sangat tergantung pada kelancaran pendanaan untuk membiayai semua aktivitas yang dilakukan. Dalam hal ini pemerintah daerah harus dapat mengelola sumberdaya yang dimilikinya dengan sebaik mungkin. Dengan demikian, unit kerja yang memberikan pelayanan kepada publik sedapat mungkin tidak berhadapan dengan masalah kekurangan atau ketiadaan dana ketika dibutuhkan. Artinya, dana yang dibutuhkan oleh unit kerja semestinya tersedia dalam jumlah yang cukup tepat pada waktunya. Untuk itu diperlukan suatu sistem manajemen dan pengendalian kas daerah yang baik.
Manajemen kas sangat penting dalam pengelolaan keuangan daerah. Manajemen kas merupakan fungsi yang dilaksanakan oleh unit perbendaharaan, mulai dari perencanaan sampai pada pelaporan tentang aliran kas daerah. Agar secara optimal dapat mendukung pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah, pengelolaan kas selayaknya dilaksanakan secara terencana, transparan dan akuntabel. Hal ini bermakna bahwa strategi pemerintah daerah untuk memaksimalkan hasil dari uang yang dimilikinya merupakan esensi utama dari manajemen kas. Pemerintah daerah kemudian membentuk suatu unit kerja yang melaksanakan fungsi perbendaharaan, yang mencakup perencanaan, penerimaan, penataausahaan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban kas daerah, yang disebut dengan nama bendahara daerah. Dalam peraturan perundang-unadngan terbaru dikenal dengan nama bendahara umum daerah (BUD).
—————————————-
B. MANAJEMEN KAS DALAM PERSPEKTIF LITERATUR ILMIAH
Di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, manajemen kas tidak menjadi perhatian utama dalam manajemen keuangan daerah seperti halnya penganggaran.[1] Hal ini mungkin karena penganggaran bersinggungan langsung dengan politik di pemerintahan, sementara manajemen kas merupakan pekerjaan administratif belaka yang dilakukan oleh pemerintah daerah (eksekutif). Selain itu ada anggapan bahwa manajemen kas dapat dilakukan apabila proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran sudah dilaksanakan. Manajemen kas dengan sendirinya akan berjalan jika anggaran sudah ditetapkan. Padahal penganggaran dan manajemen kas dua hal yang berbeda, baik secara teknis maupun risiko yang melekat di dalamnya.
Manajemen kas di pemerintahan didefinisikan sebagai strategi dan proses terkait untuk mengelola aliran kas jangka pendek dan saldo kas secara efektif biaya (cost-effective), baik secara internal maupun dalam hubungan pemerintah dengan pihak luar.[2] Manajemen kas adalah praktik dan teknik yang dirancang untuk mempercepat dan mengontrol penerimaan kas, menjamin keamanan penerimaan, meningkatkan kontrol atas cara-cara pembayaran, dan menghilangkan saldo kas menganggur.[3]
Dalam buku Managing Public Expenditure (Allen, 1998:241) disebutkan bahwa fungsi perbendaharaan di pemerintahan mencakup aktivitas-aktivitas berikut:
- manajemen kas;
- manajemen rekening-rekening bank yang dimiliki pemerintah (daerah);
- perencanaan keuangan dan peramalan aliran kas;
- manajemen hutang publik;
- administrasi batuan luar negeri dan dana bantuan internasional; dan
- manajemen aset finansial.
Aktivitas manajemen kas pada posisi pertama mengisyaratkan bahwa pemerintah, termasuk pemerintah daerah, semestinya memprioritaskan pengelolaan kas daerah dalam manajemen keuangan pemerintah. Meskipun di negara berbeda digunakan pendekatan yang berbeda dalam merumuskan fungsi perbendaharaan, namun pengelolaan kas merupakan fungsi utama yang berlaku di negara manapun.
1. Tujuan Manajemen Kas
Williams menyatakan bahwa tujuan manajemen kas adalah (1) menjaga saldo kas seminimal mungkin dan biaya-biaya yang berkaitan dengannya, (2) mengurangi risiko operasional, kredit, dan pasar; (3) meningkatkan fleksibilitas dalam mencocokkan aliran masuk dengan aliran keluar kas; dan (4) mendukung kebijakan keuangan lainnya. Sedangkan menurut Allen (1998:243) tujuan manajemen kas adalah (1) mengontrol belanja secara keseluruhan; (2) mengimplementasikan anggaran secara efisien; (3) meminimalkan biaya pinjaman pemerintah; dan (4) memaksimalkan opportunity cost sumber daya.
a. Mengontrol belanja secara keseluruhan
Pengendalian belanja merupakan unsur paling penting dalam manajemen keuangan dan anggaran daerah. Oleh karena itu harus didukung pula oleh sistem pengelolaan keuangan dan sistem anggaran yang memadai, baik secara manual maupun berkomputerisasi. Untuk dapat melaksanakan manajemen anggaran secara efisien, maka pembayaran setiap kewajiban harus dilakukan sesuai dengan kontrak. Pembayaran akan dapat dilakukan pada saat jatuh tempo apabila dana sudah tersedia seperti diestimasi sebelumnya. Sebisa mungkin harus diminimalkan biaya-biaya yang tidak perlu (transaction cost), melakukan pinjaman pada saat tingkat bunga paling rendah atau menanamkan kas yang menganggur (idle cash) pada investasi jangka pendek yang paling menguntungkan.
Dalam penganggaran berbasis kas (cash-based budgeting) pembayaran merupakan esensi dari realisasi belanja. Pengakuan atas realisasi belanja didasarkan pada jumlah kas yang dibayarkan sesuai dengan anggarannya. Oleh karena itu, pengaturan kas bermakna sebagai pengaturan atas belanja. Pemahaman atas pengontrolan belanja dalam hal ini dimaksudkan untuk menghindari pembayaran belanja yang tidak tepat waktu sehingga pemanfaatan kas dapat lebih optimal. Dengan demikian, penyusunan jadwal pelaksanaan program dan kegiatan sangat berkaitan dengan penyediaan dana. Dalam konteks lebih luas, pengontrolan belanja yang baik melalui manajemen kas akan berdampak pada pencapaian kinerja (outcome) atas pelaksanaan anggaran yang lebih baik pula.
b. Mengimplementasikan anggaran secara efisien
Anggaran berbasis kinerja mensyaratkan terpenuhinya value for money yang mencakup ekonomi (economy), efisiensi (efficiency), dan efektifitas (effectivity), dalam pelaksanaannya. Hal ini bermakna bahwa uang yang dikeluarkan haruslah memberikan hasil seoptimal mungkin sehingga memberi manfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang. Pelaksanaan anggaran sendiri berhubungan erat dengan manajemen kas ketika keduanya didasarkan pada aturan main yang ada.
Di pemerintah daerah di Indonesia, manajemen kas berada pada dua entitas, yakni bendahara umum daerah dan bendahara di unit kerja. Bendahara umum daerah melaksanakan pengelolaan kas dengan terlebih dahulu membuat anggaran kas yang didasarkan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah yang telah ditetapkan oleh eksekutif dan legislatif dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Sedangkan bendahara unit kerja menyusun anggaran kas berdasarkan rencana kerja (program dan kergiatan) selama satu tahun anggaran di tambah dengan kebutuhan untuk gaji dan tunjangan pegawai yang bersifat rutin (recurrent expenditures).
Pelaksanaan anggaran akan berjalan efektif apabila didukung dengan pengelolaan kas yang baik. Pelaksanaan program dan kegiatan dapat terganggu apabila pencairan dana (arus kas keluar) tidak lancar. Perencanaan dan pengadaan masukan (input) yang ekonomis, pelaksanaan kegiatan yang efisien dan efektif, dipengaruhi oleh kemampuan keuangan daerah untuk memenuhi komitmen kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan.
Efisiensi dalam pelaksanaan anggaran sangat ditentukan oleh manajemen kas. Kadang-kadang realisasi atas anggaran belanja atau pelaksanaan kegiatan menghabiskan dana yang sangat besar, yakni sebesar anggarannya atau bahkan lebih besar dari anggarannya apabila pembayaran tidak dilakukan sesuai dengan kesepakatan atau dibayar lebih awal. Harus dipahami bahwa asas penentuan alokasi dalam anggaran belanja adalah asas maksimal, yakni alokasi tersebut merupakan pembayaran tertinggi (maksimal) yang mungkin dilakukan berdasarkan asumsi dalam kebijakan anggaran. Anggaran belanja sudah ditentukan sedemikian rupa sehingga suatu kegiatan hampir pasti bisa dilaksanakan tanpa terkendala atau terganggu dengan masalah kekurangan anggaran/alokasi.
Dalam kondisi normal atau sesuai dengan asumsi awal dalam anggaran, realisasi belanja dengan capaian sesuai target/kinerja yang ditetapkan seharusnya tidak mencapai seratus persen. Selisih antara anggaran dengan realisasi ini merupakan bentuk dari efisiensi pelaksanaan anggaran. Penghematan dapat dilakukan ketika pengaturan kas dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan teknis pelaksanaan pekerjaan, arus masuk kas, dan kondisi lingkungan (misalnya perbankan, regulasi, adanya peristiwa luar biasa).
c. Meminimalkan biaya pinjaman pemerintah
Yang dimaksud dengan biaya pinjaman daerah adalah beban yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah ketika melakukan pinjaman atau berhutang kepada pihak ketiga sebagai akibat adanya kekurangan kas. Dalam perspektif lebih luas, biaya pinjaman juga mencakup biaya-biaya yang timbul karena adanya transaksi yang tidak dapat dipenuhi secara tunai. Biaya-biaya tersebut bisa berupa hilangnya kesempatan untuk memperoleh potongan harga, harga khusus, penundaan pekerjaan, dan sebagainya.
Pemerintah daerah kadangkala harus melakukan pinjaman karena kas yang ada di rekening kas daerah sudah tidak mencukupi. Hal ini dapat terjadi karena tertundanya penerimaan kas dari pendapatan dan pembiayaan, sementara ada kebutuhan untuk pengeluaran yang harus dilakukan. Perencanaan pelaksanaan kegiatan yang tidak baik menyebabkan biaya pinjaman akan semakin besar. Semestinya aliran kas masuk match dengan aliran kas keluar.
Untuk meminimalkan biaya pinjaman atau memaksimalkan pendapatan berupa bunga, saldo kas haruslah tersedia seminimal mungkin. Artinya tidak boleh ada atau banyak kas menganggur (idle cash). Di negara yang menggunakan sistem imprest fund, unit kerja (spending agencies) seringkali membiarkan terjadinya kas menganggur dalam rekening mereka. Hal ini mengakibatkan meningkatnya biaya pinjaman daerah karena harus mencari pembiayaan untuk sebagian unit kerja sementara ada unit kerja lain yang memiliki kelebihan kas.
Meminimalkan biaya pinjaman dapat dilakukan dengan mengurangi ketergantungan daerah pada pinjaman. Salah satu kebijakan yang dapat dibuat adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan aset-aset daerah. Pemakaian aset daerah oleh unit kerja-unit kerja daerah dalam melaksanakan kegiatan mereka harus didorong sedemikian rupa sehingga memberi hasil berupa aliran kas masuk bagi daerah. Namun, pemanfaatan oleh pihak ketiga juga harus terus didorong. Pemanfaatan aset untuk meningkatkan sumber pembiayaan membutuhkan sistem pengelolaan aset daerah yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
d. Memaksimalkan opportunity cost sumber daya
Biaya peluang (opportunity cost) berkaitan dengan adanya beberapa alternatif yang harus dipilih salah satu. Kas merupakan sumberdaya yang sumber dan peruntukkannya sudah ditentukan dalam anggaran daerah (APBD). Akan tetapi, ketika anggaran utama tidak merinci lebih jauh jadwal pelaksanaan atau pembayaran kegiatan-kegiatan yang direncanakan, maka akan terjadi persaingan dalam pencairan dana untuk kegiatan-kegiatan tersebut.
Agar biaya peluang dalam pengelolaan kas tidak besar, maka perencanaan jadwal pelaksanaan kegiatan yang baik merupakan hal yang sangat penting. Prioritas dalam pelaksanaan kegiatan diusulkan oleh unit kerja dengan mempertimbangkan kemampuan mereka. Namun, pemerintah daerah harus menyesuaikan kembali usulan-usulan dari unit kerja-unit kerja tersebut dengan prioritas daerah dengan mempertimbangkan kondisi keuangan daerah selama satu periode anggaran. Dalam perspektif pengeluaran jangka menengah (multi-term expenditure framework) yang harus dilaksanakan pada tahun 2009 oleh pemerintah daerah, pertimbangan atas prioritas pelaksanaan kegiatan menjadi semakin kompleks.
Dalam hal ini, aspek regulasi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan. Dana yang dimiliki dapat digunakan untuk membayar belanja pada saat tertentu, namun bisa lebih menguntungkan apabila pada waktu tertentu yang lain digunakan untuk memperoleh keuntungan jangka pendek. Meskipun manajemen kas tidak untuk mencari keuntungan finansial bagi daerah, namun pemanfaatan peluang bisa saja menghasilkan tambahan dana yang pada akhirnya dapat dipergunakan untuk meningkatan pelayanan publik.
2. Pengendalian Keuangan dan Sistem Informasi Kas
Sistem informasi dan pengendalian kas dapat memberikan informasi secara akurat dan tepat waktu tentang kondisi dan aliran kas, seperti jumlah kas di tangan, tagihan, pembayaran, dan prediksi terhadap aliran kas dari pendapatan dan untuk belanja. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan sistem informasi yang memadai, baik secara formal maupun informal.
Menurut Coe (1989: 121) ada dua bentuk pengendalian keuangan yang dapat dilakukan, yakni pengendalian umum untuk anggaran dan akuntansi dan pengendalian khusus untuk kas. Pengendalian umum meliputi:
- Anggaran operasi dan modal untuk mengontrol pendapatan dan belanja.
- Pembelian yang terpusat untuk penjadwalan dan perencanaan belanja.
- Pemisahan antara fungsi investasi dari akuntansi dan pelaporan.
Sedangkan pengendalian kas secara khusus meliputi:
- Akuntansi kas untuk menjaga keseimbangan kas sehari-hari dalam bentuk dana-dana (funds) dan rekening (account).
- Pencatata transaksi secara sistematis, mencakup tanggal, nama penjual, jumlah uang, maturitas, nomor rekening, jumlah rangkap dokumen, tanda tangan pegawai yang berwenang, hasil dari investasi, harga, dan potongan.
- Rekonsiliasi bulanan terhadap saldo investasi dan kas dengan catatan akuntansi kas.
- Pendistribusian bunga ke dalam dana-dana (funds) apabila uang dikumpulkan dalam dua atau lebih dana.
Untuk menjamin kelangsungan operasional dan program pemerintah daerah melalaui penyelenggaraan manajemen kas yang baik, para pengelola keuangan daerah harus mampun menjalin komunikasi informal yang baik dengan unit kerja pelaksana teknis program pemerintah daerah, seperti pelaksana pembangunan sarana dan prasarana daerah. Komunikasi seperti ini akan mencipatkan keselarasan antara persoalan penyediaan dana dengan pelaksanaan kegiatan di lapangan. Sebagai contoh: diharapkan tidak terjadi gangguan dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur karena pengelola keuangan (bagian keuangan) tidak mampun menyediakan dana yang dibutuhkan.
3. Anggaran Kas
Esensi dari anggaran kas adalah merencanakan arus kas masuk dan keluar sehingga dapat mendukung kelancaran operasional organisasi. Anggaran kas memuat informasi tentang rencana arus kas masuk dari pendapatan dari sumber lain dan arus kas keluar untuk belanja dan penggunaan lainnya. Dengan demikian, estimasi atas arus masuk harus sesuai dengan estimasi arus keluar (matching) sehingga tidak terjadi kelebihan kas (idle cash) dan kekurangan kas (cash shortfall).
Tujuan penyusunan anggaran kas secara umum adalah untuk:
- Menyediakan dana bagi kebutuhan transaksi secara harian.
- Memanfaatkan kesempatan, terutama memperoleh pendapatan dari bunga, dari kelebihan kas yang dimiliki.
- Meningkatkan kontrol melalui bank dan mengurangi biaya transaksi dengan melakukan sentralisasi.
- Mengurangi mitigasi bank.
- Meningkatkan kualitas kontrol terhadap sumber informasi kas.
- Menjaga likuiditas organisasi, terutama dalam hal pemenuhan kewajiban jangka pendek. (Schulman & Adams, 1999).
Terdapat empat konsep dasar dalam penyusunan anggaran kas (Jones, 1996:115), yakni:
- Adanya pola pengeluaran (expenditure pattern), tidak hanya dalam bentuk kas, tetapi lebih penting lagi dalam hal kapan kas harus dibayarkan.
- Adanya pola pendapatan (income pattern), tidak hanya dalam bentuk kas, tetapi lebih penting lagi dalam hal kapan kas akan diterima.
- Ketika kedua pola di atas dapat disusun, maka dapat dibuat skedul yang mencakup pendapatan dan belanja.
- Dari skedul tersebut dapat dibuat prakiraan anggaran kas (cash budget forecast).
Tabel berikut menyajikan format dan skedul dalam anggaran kas.
Tabel 1
Format Anggaran Kas
Format Anggaran Kas
Skedul | Bulan | ||||||||||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | Jumlah | |
Item-item Pendapatan | |||||||||||||
… | |||||||||||||
… | |||||||||||||
Total pendapatan | |||||||||||||
Item-item Belanja | |||||||||||||
… | |||||||||||||
… | |||||||||||||
Total belanja |
Sumber: Jones (1996:116).
Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah di Indonesia, anggaran kas disusun oleh bendahara umum daerah (BUD) untuk pelaksanaan APBD dan oleh pengguna anggaran di SKPD untuk pelaksanaan anggaran di SKPD (lihat Permendagri 13/2006). Oleh karena anggaran pengeluaran kas di SKPD mencakup belanja langsung dan belanja tidak langsung, maka anggaran kas juga dapat disusun mengikuti anggaran belanja tersebut. Sementara untuk pendapatan, bagi SKPD yang memungut PAD dan dana perimbangan, disusun anggaran kas masuk sesuai dengan kebijakan dan estimasi waktu penerimaan kas tersebut.
4. Rekening Kas
Bank adalah mitra terpenting pemerintah dalam melaksanakan manajemen kas. Bank berfungsi sebagai intermediasi dalam melakukan transaksi yang melibatkan pihak ketiga sekaligus sebagai tempat menyimpan dana yang belum terpakai, sebagai prasarana dalam melakukan transfer/pengiriman uang, sumber tambahan pendapatan bagi pemerintah berupa bunga, dan keuntungan non finansial lainnya. Oleh karena itu, setiap pemerintah memiliki rekening sendiri di bank.
Rekening kas merupakan rekening bank yang dibentuk untuk menampung dana yang dimiliki daerah. Rekening ini akan lebih efisien jika terpusat pada satu rekening saja (treasury single account atau TSA). TSA adalah sebuah atau beberapa rekening yang saling berhubungan, melalui mana pemerintah daerah melakukan transakasi pembayaran. Pada praktiknya, dalam konsep rekening tunggal yang lebih luas, terdapat beberapa metode untuk memusatkan transaksi dan aliran kas. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga (Allen, 2998:244), yakni:
- Rekening tunggal perbendaharaan dan kontrol akuntansi terpusat. Dalam metode ini, permintaan pembayaran dan dokumen-dokumen pendukungnya dikirim ke perbendaharaan, yang kemudian melakukan kontrol dan merencanakan pembayarannya. Perbendaharaan akan mengatur pembayaran atas tagihan-tagihan yang masuk.
- Rekening tunggal perbendaharaan terpusat pasif. Dalam metode ini pembayaran dilakukan langsung oleh unit kerja, tetapi melalui rekening perbendaharaan (TSA). Perbendaharaan akan membatasi jumlah pencairan secara keseluruhan melalui rencana pelaksanaan anggaran yang ada, namun tidak mengontrol transaksi satu demi satu.
- Rekening tunggal perbendaharaan terpusat pasif yang terdiri dari beberapa sub-rekening. Dalam model ini unit kerja memiliki rekening sendiri yang dananya diisi dari perbendaharaan dengan jumlah tetap (imprest fund). Unit kerja dapat mengeluarkan dana dari rekening tersebut untuk melakukan pembayaran-pembayaran dan mempertanggungjawabkan pembayaraan tersebut kepada perbendaharaan untuk mendapat penggantian dana sejumlah yang sudah digunakan.
—————————————-
C. MANAJEMEN KAS DALAM PERSPEKTIF BEST PRACTICE
Setiap negara memiliki pendekatan berbeda dalam melaksanakan manajemen kas. Ada negara yang mengatur pengelolaan kas secara sentralistis atau terpusat, sementara yang lainnya desentralistis atau menyerahkan ke level menajerial lebih rendah. Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, daerah diwajibkan menyusun anggaran kas sebagai bagian tidak terpisahkan dari anggaran pendapatan dan belanjanya, namun adakalanya penyusunan anggaran kas ini diserahkan kepada masing-masing unit kerja di daerah, sementara bendahara daerah tinggal mengkompilasi anggaran kas unit kerja tersebut. Berikut dijelaskan praktik manajemen kas di beberapa negara.
a. Filipina
Sampai tahun 1985 otorisasi kas diterbitkan untuk agency setiap kuartal melalui penerbitan cash disbursement ceilings (CDCs) yang menentukan jumlah maksimum yang dapat ditarik agencydari Kantor Perbendaharaan (Buereau of the Treasury/BTr) untuk memenuhi kewajibannya. Pada tahun 1990 dikenalkan Synchronized Planning-Programming-Budgeting-System (SPPBS) untuk memperbaiki sinkronisasi antara agency anggaran, perencanaan, dan pendapatan, dan menjamin bahwa terjadi konsistensi antara rencana anggaran dengan sasaran pembangunan dan ketersediaan dana. Pada tahun berikutnya, Department of Budget and Magamenet (DBM) danDepartment of Finance (DOF) membentuk Inter-Agency Committee on Cash Programming yang beranggotakan perwakilan dari DBM, DOF, BTr, dan Bank Sentral. Komite ini kemudian menetapkan batas pembayaran yang menjadi dasar penerbitan notices of cash allocation (NCAs). SPPBS ternyata tidak memcahkan persoalan manajemen kas dan masalah cash float dan ketepatan waktu pencairan kas terus berlanjut.
Pada tahun 1992 dibentuk Modified Disbursement System untuk memberikan koordiasi yang lebih dekat antara DBM dam DOF dalam mengeluarkan dana, didasarkan pada perhitungan jangka pendek atas ketersediaan kas. Untuk mengoptimalkan penggunaan kas dalam program-program yang menjadi prioritasnya, di agency diterapkan pengukuran atas penggunaan kas.
Pada tahun 1995 diterapkan the Simplified Fund Release System (SFRS) yang dimaksudkan untuk menstandarkan pencairan dana di antara agency yang sejalan dengan kebijakan pemerintah. Sistem ini memungkinkan fleksibilitas penggunaan dana dalam batasan yang telah ditentukan peraturan serta penyederhanaan prosesnya, sehingga mengurangi paperwork dan mempermudah monitoring atas pencairan anggaran.
b. Swedia
Sistem di Swedia menganut konsep majamen keuangan yang efisien, di mana apropriasi anggaran tahunan disimpan di dalam rekening berbunga (interest-bearing account) masing-masingagency, dengan tingkat bunga normal 1/12 persen setiap bulan. Jika agency menghabiskan dananya terlambat, maka akan mendapatkan bunga atas saldo yang tersisa, sementara jika menghabiskan dananya lebih cepat, maka dibebani bunga. Bunga ini mencerminkan biaya pinjaman yang harus ditanggung pemerintah karena adanya “pelanggaran” terhadap anggaran kas agency bersangkutan. Dengan sistem seperti ini, agency diharapkan memiliki kemampuan untuk menggunakan dananya tepat waktu. Hal ini mendorong kepedulian agency terhadap manajemen kasnya.
Selain itu, untuk mendorong perbaikan dalam manajemen kas, agency diperbolehkan menggunakan apropriasi yang belum terpakai ke periode berikutnya (carry forward). Cara ini dimkasudkan untuk menghindari adanya sisa kas tak berguna yang terlalu besar (surges) pada akhir tahun, meningkatkan disiplin manajer (karena overspending akan dibebankan pada periode berikutnya), dan meningkatkan efisiensi agency di luar yang diasumsikan dalam anggaran (karena keuntungan dari efisiensi tersebut akan dinimkati sendiri oleh agency).
—————————————-
D. PRAKTIK MANAJEMEN KAS SELAMA INI DI DAERAH
1. Beberapa Kelemahan Manajemen Kas Selama Ini
Keberhasilan penerapan anggaran berbasis kinerja di daerah tidak terlepas dari manajemen kas yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Manajemen kas yang efektif akan memungkinkan terjadinya pelaksanaan kegiatan secara lancar dan tepat waktu. Hal ini juga berimplikasi pada pemenuhan komitmen yang telah dibuat oleh pemerintah daerah kepada stakeholders-nya. Namun, dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini dan sejak daerah diwajibkan memenuhi aturan penganggaran, penatausahaan, dan akuntansi secara mandiri, seperti diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002, terjadi ketidakefektifan dalam pengelolaan keuangan daerah, terutama manajemen kas daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya peyimpangan-penyimpangan atau bahkan korupsi, yang tidak saja merugikan keuangan daerah, tetapi masyarakat banyak dalam jangka panjang.
Beberapa penyimpangan yang terjadi dapat dipandang bersumber dari beberapa hal berikut:
- Ketidakmampuan SDM yang mengelola keuangan;
- Tidak ada kaitan antara rencana kegiatan dengan anggaran kas;
- Tidak adanya transparansi dalam pelaksanaan anggaran yang menyebabkan kas masuk atau kas keluar;
- SKPD tidak diberi gambaran yang jelas tentang kondisi kas daerah;
- Pengawasan oleh internal auditor atau Bawasda tidak berjalan efektif;
- Pengelola keuangan daerah terlalu powerful dibanding SKPD lain;
- Terlalu banyak campur tangan secara politis;
- Iklim ddan kultur di pemerintahan daerah yang memungkinkan praktik KKN semakin merajalela.
Beberapa kasus yang terjadi di daerah memiliki indikasi adanya korupsi atas kas daerah. Dalam kondisi tertentu bisa saja daerah membuat kebijakan membolehkan SKPD melakukan pinjaman ke kas daerah, namun dengan persyaratan yang jelas: mendesak, anggaran untuk SKPD tersebut sudah ada, dana di rekening kas daerah mencukupi, dan dana tersebut belum memiliki peruntukan yang lebih mendesak. Artinya, pinjaman sementara bisa dilakukan oleh SKPD apabila sebuah kegiatan atau pengeluaran kas harus dilakukan oleh SKPD bersangkutan secepatnya.
2. Anggaran Kas
Anggaran kas merupakan rencana keuangan yang mencakup rencana aliran kas masuk, aliran kas keluar, sumber kas, peruntukan penggunaan kas, dan saldo pada akhir periode anggaran. Menurut PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, aliran kas masuk yang dianggarkan dapat bersumber dari pendapatan dan penerimaan pembiayaan, sementara aliran kas keluar dapat berupa pembayaran belanja-belanja dan pengeluaran pembiayaan.
Penyusunan anggaran kas di pemerintah daerah pada dasarnya mengikuti pedoman dan struktur organisasi yang berlaku di daerah tersebut. Karena anggaran kas berhubungan erat dengan fungsi bendahara, yakni satuan yang bertugas menerima, menyimpan, dan membayarkan uang, maka pelaksana fungsi tersebut bertugas menyusun rencana aliran kas ke depan. Berdasarkan struktur organisasi pengelolaan keuangan daerah, unit kerja yang menangani perbendaharaan adalah sub-bagian perbendaharaan di bagian keuangan atau bidang perbendaharaan di badan pengelolaan keuangan daerah.
Meskipun perbendaharaan adalah pihak yang paling mengetahui kondisi kas pada peridoe berjalan, memiliki catatan historis aliran kas, dan tren aliran kas selama ini, dalam menyusun anggaran kas haruslah melakukan “koordinasi” dengan satuan kerja yang merupakan pelaksana pelayanan publik. Dengan demikian, besaran kas masuk dan kas keluar selama satu bulan, triwulan, semester, dan tahun, didasarkan pada kebutuhan satuan kerja. Hal ini tergambar dari pengaturan yang ada di dalam Permendagri 13/2006 tentang keharusan satuan kerja melampirkan anggaran kas selama empat triwulan satuan kerja ketika menyampaikan dokumen pelaksaan anggaran (DPA) kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Juga dinyatakan bahwa plafon anggaran yang diperoleh tidak boleh dibagi rata ke dalam empat triwulan.
Anggaran kas yang diusulkan oleh SKPD kepada TAPD didasarkan pada kebutuhan dana SKPD, baik untuk pengeluaran yang bersifat rutin maupun kegiatan. Untuk anggaran yang jumlahnya relatif tetap setiap tahun, perencanaannya relatif tidak sulit, seperti misalnya gaji dan biaya-biaya operasional kantor. Akan tetapi untuk kegiatan atau proyek, SKPD harus mempertimbangkan banyak hal, yang diantaranya adalah (1) kedaruratan atau urgensi, (2) kemampuan sumber daya manusia (SDM), (3) waktu, dan (4) kesesuaian dengan kegiatan atau program lain yang dilaksanakan bersamaan.
Kedaruratan atau urgensi merupakan kondisi di mana suatu kegiatan harus diprioritaskan atau didahulukan pelaksanaannya dibanding kegiatan lain. Dalam kondisi ekstrim (force-majeur), kedaruratan ini bahkan bisa dibiayai dengan pinjaman atau pembiayaan lain, meskipun anggarannya belum tersedia.
Kemampuan SDM, baik dari segi kapasitas maupun kuantitas, harus diperhitungkan oleh SKPD ketika merencanakan teknis pelaksanaan kegiatan. Seorang pegawai tentunya tidak mungkin melaksanakan dua kegiatan di tempat berbeda secara secara bersamaan.
Waktu pelaksanaan kegiatan akan menentukan berapa besar aliran kas keluar dalam rentang waktu tertentu. Adalah tidak mungkin semua kegiatan yang direncanakan dilaksanakan sekaligus dalam waktu bersamaan oleh SKPD. Untuk kegiatan tertentu bisa saja berhubungan dengan kondisi alam atau musim tertentu.
Kesesuaian dengan kegiatan atau program lain menjadi pertimbangan penting ketika SKPD melaksanakan dua atau beberapa kegiatan berkelanjuran (berseri) dalam satu periode anggaran atau sebuah program dilaksanakan oleh beberapa SKPD. Penyesuaian jadwal pelaksanaan perlu dilakukan agar hasil yang ditargetkan dapat tercapai.
Apabila anggaran kas yang diusulkan oleh SKPD relatif smooth sepanjang tahun, artinya tidak terlalu berfluktuasi antartriwulan, bendahara umum daerah akan lebih mudah merencanakan penerimaan dan pengeluaran. Namun, untuk waktu-waktu tertentu perlu dibuat kebijakan khusus, yakni ketika pengeluaran daerah lebih besar dari biasanya. Oleh karena itu, dalam penganggaran kas harus diupayakan perdiksi seakurat mungkin tentang waktu penerimaan daerah berupa kas, baik dari pendapatan maupun pembiayaan, sehingga pengalokasian waktu pencaiaran belanja dapat dilakukan lebih mudah. Untuk ini sangat disarankan untuk tidak melakukan perata-rataan jumlah pencaiaran kas setiap bulan atau triwulan.
Mekanisme penyusunan anggaran kas menurut Permendagri 13/2006 adalah:
- Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun rancangan anggaran kas SKPD;
- Rancangan anggaran kas SKPD disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan DPA-SKPD;
- Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan rancangan DPA-SKPD;
- Mekanisme pengelolaan anggaran kas pemerintah daerah ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.
3. Langka-Langkah Penyusunan Anggaran Kas di SKPD
Anggaran kas merupakan komponen dari manajemen kas. Pengelolaan kas dierencanakan melalui anggaran kas berupa prakiraan atas aliran masuk dan aliran keluar kas. Aliran masuk kas di BUD bersumber dari pendapatan dan pembiayaan serta transaksi/kejadian non anggaran. Sementara aliran masuk kas SKPD umumnya bersumber dari BUD, kecuali bagi SKPD yang memiliki fungsi sebagai pemungut/penerima pendapatan yang bersumber dari potensi daerah sendiri, seperti pajak dan retribusi. Bagi SKPD, beberapa langkah yang harus dilakukan dalam penyusunan anggaran kas adalah sebagai berikut:
- Menentukan batas atas (plafon) anggaran yang ditetapkan dalam APBD untuk SKPD bersangkutan. Plafon ini merupakan batas maksimal kas yang bisa dikeluarkan atau dibayarkan oleh SKPD. Dalam proses penyusunan anggaran menurut Permendagri 13/2006, setelah APBD disahkan SKPD diminta menyusun dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) dan dilampiri dengan anggaran kas. Artinya, rencana kegiatan dan anggaran (RKA) yang sudah disetujui harus direncanakan lagi kapan pelaksanaan dan pencairan dananya.
- Menyusun jadwal pelaksanaan program dan kegiatan. Dengan adanya jadwal pelaksanaan kegiatan dapat ditentukan kapan pencairan akan dilakukan. Pelaksanaan kegiatan sangat tergantung pada kemampuan sumberdaya yang dimiliki SKPD berupa personil, peralatan, dokumen, dan masukan lainnya. Jika jumlah personil di SKPD tidak banyak, maka pelaksanaan beberapa kegiatan dalam waktu bersamaan mungkin sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
- Menentukan jumlah pencairan setiap bulan. Jumlah pencairan setiap bulan ditentukan oleh banyaknya kegiatan atau kontrak yang harus dipenuhi. Adakalanya dalam satu bulan dilaksanakan beberapa kegiatan sekaligus. Saat pencairan atau pembayaran mungkin berbeda untuk kegiatan yang sifatnya sikontrakkan kepada pihak ketiga dengan yang dilaksanakan sendiri, atau untuk kegiatan yang bersifat pengadaan (melalui pembelian atau membuat/membangun sendiri) dengan non pengadaan (seperti pelatihan, penelitian, penyuluhan, pemberian bantuan, dan studi banding).
- Membuat tabel anggaran kas. Tabel anggaran kas dibuat untuk memberikan gambaran tentang jumlah dan waktu pencairan dana. Secara umum anggaran kas memuat sumber penerimaan kas atau aliran masuk kas dan penggunaan kas atau aliran keluar kas setiap bulan. Apabila penerimaan kas dari BUD dilakukan setiap tiga bula (per triwulan), maka harus disesuaikan penggunaannya per bulan. Untuk bagian pengeluaran kas perlu dipisahkan antara pembayaran untuk belanja tidak langsung (belanja pegawai) dan belanja langsung (kegiatan).
4. Format Anggaran Kas
Untuk digunakan di SKPD, format seperti Tabel 1 (Jones, 1996:116) dapat dimodifikasi dengan merinci lebih jauh rencana kegiatan dan pembayarannya. Harus diingat bahwa anggaran kas di SKPD tergantung pada alokasi anggaran yang sudah ditetapan untuk SKPD bersangkutan, sehingga anggaran kas hanya dimaksudkan untuk mengatur penggunaannya selama satu tahun anggaran. Modifikasi atas Tabel 1 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2
Format Anggaran Kas di SKPD
Format Anggaran Kas di SKPD
Skedul | Bulan | ||||||||||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | Jumlah | |
Belanja tidak langsung | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | xxx |
Gaji | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | xxx |
… | |||||||||||||
Belanja langsung | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | xxx |
| x x | x | x x x | x | x x x | x | x | x | xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx | ||||
Total belanja | x | x | x | x | x | x | x | x | X | x | x | x | xxx |
Kas yang dibutuhkan per bulan | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | x | xxx |
Pada format anggaran kas di atas diasumsikan sumber kas hanya satu, yakni BUD atau kas daerah. Pada SKPD yang melakukan pemungutan pendapatan daerah, misalnya PAD, sepanjang tidak boleh digunakan langsung oleh SKPD, maka formatnya sama dengan format di atas. Untuk badan layanan umum (BLU) yang diberi kewenangan untuk menggunakan pendapatan yang diterimanya dari masyarakat (misalnya berupa retribusi), maka format anggaran kas di atas dimodifikasi lagi dengan memasukkan anggaran penerimaan kas dari pendapatan. Namun, dalam hal ini pun harus dipahami bahwa tidak mungkin seluruh pendapatan yang diterima BLU tersebut akan dapat membayar semua pengeluaran untuk belanjanya.
Dari tabel di atas dapat disimpulkan beberapa hal, yakni:
- Pelaksanaan kegiatan diasumsikan dapat dilakukan pada bulan Januari.
- Dalam satu bulan dapat dilaksanakan satu atau lebih kegiatan, tergantung pada kemampuan personil dan lama waktu pelaksanaan kegiatan.
- Jumlah kas setiap bulan yang diterima SKPD tergantung pada kebutuhan untuk pembayaran pada bulan bersangkutan.
- Pencairan dana tidak mengalami hambatan. Bagi BUD sendiri diasumsikan pengiriman dana perimbangan dari pemerintah pusat tepat waktu dan sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kelebihan dari penyusunan anggaran kas seperti ini adalah (1) tidak ada atau sangat kecil jumlah kas yang menganggur atau dipegang oleh bendahara pengeluaran, (2) kegiatan dapat dilaksanakan secara optimal karena beban kerja tidak terlalu padat atau menumpuk pada periode-periode tertentu, (3) pelaksanaan kegiatan dapat dipertanggungjawabkan dengan lebih baik, dan (4) memperkecil kemungkinan penumpukan kas di BUD/kas daerah.
—————————————-
E. MANAJEMEN KAS DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANGAN TERKAIT
Beberapa peraturan perundangan berlaku saat ini yang berhubungan dengan manajemen kas adalah UU No. 1/2004 tentang perbendaharaan negara, UU No. 17/2003 tentang keuangan negara, PP No. 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah, PP No. 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. PP No. 24/2005 tentang standar akuntansi pemerintahan, dan Permendagri No 13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Peraturan perundangan tersebut mengatur mulai dari perencanaan sampai pada pelaporan penglolaan keuangan dalam perspektif yang luas, termasuk akuntansi dan pemeriksaan.
1. Perkembangan Peraturan Perundangan Terkait Manajemen Kas
Dalam beberapa tahun terakhir isu manajemen kas di pemerintahan menjadi bahan diskusi yang menarik, baik dari aspek konsep maupun praktik di lapangan. Mengingat kas memiliki peran vital dalam pelaksanaan operasional pemerintahan secara keseluruhan, seperti halnya penganggaran daerah, maka pemerintah pusat mengeluarkan aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan/Keputusan Menteri tentang pengelolaan keuangan daerah. Pada tahun 2001 dikeluarakn PP No. 105/2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yang kemudian diikuti dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pada tahun 2005, pemerintah menerbitkan PP No. 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah dan beberapa PP lainnya, dengan landasan UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, yang merupakan revisi atas UU 22/1999 tentang pemerintahan daerah. PP ini kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Dalam berbagai hal, perubahan UU 22/1999 ke UU 32/2004, PP 105/2000 ke PP 58/2005, dan Kepmendagri 29/2002 ke Permendagri 13/2006, memiliki implikasi pada berbagai perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk penganggaran dan manajemen kas daerah.
2. Manajemen Kas Menurut Permendagri 13/2006
Bab IX Permendagri 13/2006 menjelaskan tentang pengelolaan kas daerah dalam dua kelompok kas, yakni pengelolaan penerimaan dan pengeluaran kas (anggaran) dan pengelolaan kas non anggaran. Beberapa poin penting dari lima pasal yang terdapat dalam bab ini adalah:
- pengelolaan kas adalah tanggung jawab bendahara umum daerah (BUD);
- adanya rekening kas umum daerah di bank yang sehat;
- adanya rekening penerimaan untuk menampung penerimaan;
- adanya rekening pengeluaran melakukan pengeluaran kas sesuai APBD;
- pengelolaan kas non anggaran mencakup penerimaan dan pengeluaran yang tidak mempengaruhi komponen-komponen APBD yang melibatkan perhitungan pihak ketiga;
- pengelolaan kas non anggaran diatur dengan peraturan kepala daerah.
Berdasarkan Permendagri 13 tersebut, rekening yang dikelola oleh BUD bersifat sentralistis. BUD mengendalikan pengeluaran daerah melalui satu rekening tunggal dengan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), yang disampaikan kepada pihak yang menerima pembayaran atau melakukan pembayaran lanjutan kepada pihak ketiga. Untuk pengelolaan kas di SKPD, digunakan sistem imprest fund atau dana tetap. Dengan sistem ini, SKPD akan mengelola sejumlah dana tertentu yang jumlahnya ditentukan di awal periode. Setiap penggunaan dana akan diganti setelah jumlah dana yang digunakan tersebut dipertanggungjawabkan dengan dilengkapi bukti-bukti pendukungya ke BUD. Apabila jumlah dana yang dikelola oleh SKPD terlalu kecil, misalnya karena ada aktifitas tertentu yang membutuhkan dana lebih besar, maka dapat diberikan tambahan uang.
Mekanisme pengajuan permintaan uang, penggunaan, dan pertanggungjawaban atas penggunaan uang oleh SKPD diatur lebih jauh dalam penatausahaan keuangan daerah (Bab X Permendagri 13/2006). Secara teknis, perencanaan, penatausahaan, dan pelaporan atas pengelolaan kas daerah diatur lebih lengkap dalam peraturan menteri ini. Namun, bagaimana pengaplikasiannya di daerah sepertinya membutuhkan waktu mengingat adanya beberapa perubahan atau penyseuaian yang harus dilakukan oleh daerah, selain proses belajar yang terus menerus. Berikut dijelaskan beberapa perbedaan antara pengelolaan kas daerah menurut Kepmendagri 29/2002 dengan Permendagri 13/2006.
3. Perbandingan Manajemen Kas dalam Kepmedagri No. 29/2002 dengan Permendagri 13/2006
Perbubahan peraturan pelaksanaan manajemen kas daerah dari Kepmedagri No. 29/2002 ke Permendagri 13/2006 memiliki akibat pada terjadinya beberapa perubahan dalam pelaksanaan fungsi perbendaharaan di daerah. Perubahan tersebut terjadi pada tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pertanggungajawaban, dan pelaporan keuangan. Tabel berikut menyajikan beberapa hal yang berbeda antara Kepmedagri No. 29/2002 dengan Permendagri 13/2006.
Tabel 3
Perbandingan antara Kepmedagri No. 29/2002 dan Permendagri 13/2006
Perbandingan antara Kepmedagri No. 29/2002 dan Permendagri 13/2006
Jenis perbedaan | Kepmedagri No. 29/2002 | Permendagri 13/2006 | Implikasi |
Perencanaan dan penganggaran | - Tidak ada keharusan SKPD menyusun anggaran kas. - Pencairan dana tidak berkaitan dengan anggaran kas. | - Ada keharusan SKPD menyusun anggaran kas. - Pencairan dana berkaitan dengan anggaran kas. | - SKPD harus memiliki kemampuan untuk menyusun anggaran kas. - Ada bargainingantara SKPD dengan BUD dalam penganggaran kas. |
Struktur organisasi pengelola Keuda | - Tidak harus berbentuk badan. - Tidak ada bendahara di SKPD, tapi pemegang kas. | - Harus berbentuk badan. - Ada bendahara di SKPD. | - Daerah harus merubah struktur organisasinya. - SKPD menambah staf fungsional bendahara. |
Penatausahaan - Dokumen - Pembuat dokumen | - SKO, SPP, SPM. - SKO dan SPM oleh bagian keuangan, SPP dan SPJ oleh SKPD. | - SPD, SP2D, SPP, SPM, SPJ. - SPD dan SP2D oleh bagian keuangan, SPP, SPM, dan SPJ oleh SKPD. | - Pekerjaan SKPD menjadi lebih berat. - Harus ada staf verifikasi SPP dan SPJ di PPK-SKPD. |
Akuntansi | Akuntansi dilaksanakan di BUD. | Akuntansi dilaksanakan di SKPD. | SKPD harus memiliki tenaga akuntansi yang mampu menyusun LK. |
Pertanggungjawaban | Setiap realisasi belanja harus diSPJ-kan oleh SKPD ke bagain keuangan. | SPJ dilakukan di SKPD oleh bendahara pengeluaran ke PPK-SKPD. | - Tanggungjawab pengguna anggaran semakin besar. - Pengguna anggaran tidak bisa memaksakan kehendak kepada bendahara |
Pelaporan keuangan | SKPD tidak menyusun LK untuk anggaran yg telah dilaksanakannya. | - SKPD tidak menyusun LK untuk anggaran yg telah dilaksanakannya. - Kepala SKPD harus membuat pernyataan bertanggungjawab LK. | - Kebenaran LK merupakan tanggungjawab SKPD. |
Pengawasan | BPK tidak melakukan pemeriksanaan atas LK ke SKPD. | BPK melakukan pemeriksanaan atas LK ke SKPD. | - Tanggungjawab pengguna anggaran semakin besar. - Risiko penyalahgunaan anggaran oleh SKPD dapat diminimalisir. |
————————————
F. KERANGKA INOVASI MANAJEMEN KAS DI DAERAH
Pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah membutuhkan inovasi dalam jangka panjang mengingat berbagai peraturan pelaksana yang ada selama ini masih memiliki banyak kelemahan, terutama berupa ketidakonsistenan antarperaturan dan antarkomponen dalam satu peraturan paralel. Improvisasi oleh setiap daerah diharapkan dapat memperbaiki sistem pengelolaan keuangan daerah melalui pembelajaran secara terus menerus. Perbedaan karakteristik daerah dapat menjadi pertimbangan mengapa kemudian inovasi antardaerah juga berbeda.
Pada dasarnya tujuan akhir dari manajemen kas daerah adalah bagaimana kas dapat dimanfaatkan secara optimal. Artinya, kas tersedia ketika dibutuhkan, namun memberikan hasil ketika kas tidak dibutuhkan untuk aktivitas operasional dan pelaksanaan program atau projek daerah. Oleh akrena itu, kas yang menganggur (idle cash) harus seminimal mungkin. Di sisi lain, keamanan kas juga harus dijaga sehingga terhindar dari penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Inovasi yang boleh dilakukan oleh daerah haruslah dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah pusat sudah memberikan rambu-rambu yang cukup ketat dengan menyediakan perangkat peraturan yang relatif lengkap, mulai dari UU sampai pada peraturan menteri. Meski tidak termasuk ke dalam struktur perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh daerah, peraturan menteri memberikan gambaran tentang pelaksanaan secara teknis pengelolaan keuangan daerah.
Beberapa gebrakan yang dapat dilakukan misalnya:
- Kas yang masih tersisa di bendahara pengeluaran SKPD tidak perlu dikembalikan ke kas daerah. Hal ini mungkin dapat dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan SKPD melaksanakan pelayanan publik pada awal tahun anggaran ketika APBD belum disahkan atau ditetapkan.
- SKPD diberi informasi yang lengkap tentang ketersediaan dana bagi program dan kegiatan mereka. Dalam hal ini BUD harus dapat memberikan garansi bahwa pelaksanaan kegiatan tidak akan terganggu karena masalah kekurangan kas di BUD.
- Adanya sistem perbendaharaan berbasis komputer (LAN atau internet) yang menghubungkan bendahara SKPD dengan BUD, sehingga SKPD dapat memperoleh informasi secepatnya tentang ketersediaan dana untuk anggaran kegiatannya.
- Adanya kebijakan anggaran kas untuk peristiwa dan kejadian yang menyebabkan anggaran belanja tak terduga harus dicairkan/direalisasi. Fleksibilitas anggaran diperlukan untuk kondisi-kondisi tertentu, namun tentunya harus mengikuti prosedur dan mekanisme yang berlaku.
- Meminta kepada pemerintah pusat/provinsi untuk konsisten dalam pencairan atau transfer dana perimbangan dari pusat/provinsi. Keterlambatan dalam pengiriman ini menyebabkan pelaksanaan program dan kegiatan di daerah mengalami keterlambatan.
- Adanya sanksi yang tegas yang dinyatakan dalam peraturan daerah (Perda) terhadap pelanggaran atas pengelolaan dan anggaran kas. Dalam hal ini, pelanggaran mungkin dilakukan oleh BUD dan juga bendahara di SKPD.
—————————————-
Referensi
Allen, Richard & Daniel Tommasi. 2001. Managing Public Expenditure: A Reference Book for Transition Countries. Paris: OECD.
Coe, Charles K. 1989. Public Financial Management. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.
Jones, Bernard.1996. Financial Management in the Public Sector. London: The McGraw-Hill Companies.
Peraturan Pemerintah No 24/2006 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Undang-Undang No. 1/2003 tentang Perbendaharaan negara.
Undang-Undang No. 17/2004 tentang Keuangan Negara.
Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah No. 15 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
Schulman, Donniel & George Adams. 1999. Cash Management and Budgeting. Dalam Rchlin, Robert (Ed.). 1999. Handbook of Budgeting. Fourth edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Williams, Mike. 2004. Government Cash Management: Good – and Bad – Practice. Internal Technical Note. September 2004
Coe, Charles K. 1989. Public Financial Management. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.
Jones, Bernard.1996. Financial Management in the Public Sector. London: The McGraw-Hill Companies.
Peraturan Pemerintah No 24/2006 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Undang-Undang No. 1/2003 tentang Perbendaharaan negara.
Undang-Undang No. 17/2004 tentang Keuangan Negara.
Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah No. 15 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
Schulman, Donniel & George Adams. 1999. Cash Management and Budgeting. Dalam Rchlin, Robert (Ed.). 1999. Handbook of Budgeting. Fourth edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Williams, Mike. 2004. Government Cash Management: Good – and Bad – Practice. Internal Technical Note. September 2004
0 komentar:
Posting Komentar