Reformasi1998 tidak hanya membawa perubahan besar dalam lingkup politik Indonesia tetapi juga melanda keuangan, baik keuangan negara maupun daerah. Selama ini sistem keuangan negara menganut asas sentralistik. Hanya ada satu istilah yaitu keuangan negara yang dituangkan dalam APBN. Semua kebutuhan daerah dialirkan dari pusat dengan berbagai program, bantuan atau block grant. Tanpa memedulikan apa sebenarnya yang dibutuhkan, daerah harus menerima apa yang diprogramkan oleh pemerintah pusat. Tidak menjadi perioritas tentang cocok atau tidaknya program tersebut Sehingga tidak mengherankan jika rakyat harus menerima bantuan dari pusat yang keliru.
Misalnya bantuan pohon melinjo untuk daerah pesisir dan bibit kelapa untuk daerah pegunungan. Ada daerah yang mata pencaharian penduduknya bertani tetapi diberikan bantuan sapi Bali (akhirnya sapinya banyak mati, mungkin sebagai “protes” karena ia ketahui yang memeliharanya hanya bisa bercocok tanam bukan beternak).
Namun sejak reformasi, hal yang demikian tidak terjadi lagi. Daerah diberikan otonomi seluas-luasnya dengan beberapa pengecualian, di antaranya urusan agama, ekonomi, hukum, dan hubungan luar negeri. Peraturan keuangan daerah, yang dulu sangat terkenal UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Keuangan Daerah, diganti menjadi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU ini keluarlah Kepmendagri No.29 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah.
Kedua UU ini tidak bertahan lama. Dengan alasan untuk mempercepat dan menyempurnakan otonomi di bidang keuangan daerah, pemerintah pusat mengeluarkan UU terbaru sebagai penggantinya yaitu UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Atas dasar kedua pengganti UU lama ini keluarlah Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menjadi dasar pengurusan keuangan daerah. Permendagri No.13 ini masih perlu disempurnakan di tahun berikutnya, sehingga keluarlah Permendagri No.59 tahun 2007 tentang revisi Permendagri No.13 tahun 2006.
Lahirnya reformasi konstitusi di bidang keuangan daerah, otonomi daerah benar-benar diberikan secara penuh, meskipun pelaksanaannya belum sempurna benar. Mungkin karena belum berpengalaman mengerjakan sendiri segala lika-liku mengurus sendiri keuangannya, daerah sering keteteran dalam mengejar semua target-target yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ini terjadi hampir seluruh daerah di Indonesia. Daerah sulit menyusun jadwal tahun takwim anggaran sampai dengan pelaksanaannya. Mulai Musrenbang tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, sampai dengan provinsi daerah masih kedodoran dalam menyusun anggaran. Belum lagi dalam mengejar realisasi pelaksanaannya yang menjadi kebutuhan utama rakyat.
Salah satu pemicu keterlambatan penyusunan selama ini adalah komunikasi antara legislatif dan eksekutif belum begitu harmonis. Ditambah lagi ada muatan politis dalam menghadapi pemilu lalu yang dilakukan oleh legislatif. Semua orang menyadari bahwa setiap partai poltik diperlukan “gizi” untuk melakukan kampanye. Ya, sasaran korbannya tentu ada pada anggaran.
Hambatan kedua adalah belum padunya tim penyusunan anggaran daerah yang dilakukan oleh TAPA (tim anggaran pemerintah Aceh). Sekda, sebagai koordinator keuangan daerah, belum sinkron dalam memberikan informasi ke masing-masing SKPA sehingga sering Bappeda kewalahan dalam menyusun keuangan daerah. Sering terdengar bahwa staf Bappeda “sakit” pada waktu mengejar tenggat yang diberikan oleh DPRA.
Penyebab utama kurang haromonisnya kedua lembaga ini adalah akibat perbedaan produk politik. Anggota DPRA adalah hasil produk politik pola pemilu lama sedangkan Gubernur dihasilkan dengan pemilu baru. Komunikasi antara DPRA dengan Gubernur di Gedung Dewan sering panas alias tegang, yang kadang-kadang tidak berhubungan dengan kepentingan rakyat.
Anggaran Untuk Rakyat
Sesuai dengan konstitusi, instrumen utama yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dalam mensejahterakan rakyat dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Proses penyusunan tertata rapi, dengan mengutamakan prinsip aspirasi dari rakyat (bottom up). Permendagri No.80 tahun 2007 sebagai pedoman untuk penyusunan APBA menomorsatukan aspirasi rakyat.
Prinsip yang sama juga dilakukan dalam realisasi anggaran. Prinsip tepat waktu untuk segera dinikmati oleh rakyat harus dijunjung tinggi. Pelaksanaan ke arah sini mulai dirasakan untuk tahun anggaran 2009. Walaupun dirasa “aneh”, Gubernur dan DPRA membuat MoU untuk komitmen ketepatan waktu penyusunan dan pelaksanaan APBA. Aneh karena, menurut UU, kedua lembaga inilah yang bertanggungjawab terhadap segala sesuatu tentang proses keuangan daerah. Artinya MoU itu sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Persoalan utama dalam hubungannya anggaran untuk rakyat atau pejabat. Anggaran selama ini dijadikan sasaran tembak untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
Sebagai contoh, peristiwa teranyar terjadi di Kabupaten Bireun. Oknum anggota dewan diduga “memborong” proyek PL (Penunjukan Langsung) senilaiRp 4,5 miliyar (Serambi, 6 Mei 2009). Sebagaimana diketahui bahwa proyek PL dilakukan karena nilai kontraknya paling tinggi Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta. Menurut Abdul Manan Isda, Ketua F-KAMAR (Forum Koalisi Aksi Masyarakat Aceh Reformasi) proyek ini diambil oleh para anggota dewan pada masa akhir jabatannya.
Kejadian ini juga tidak hanya terjadi di kabupaten/kota tetapi juga ada di provinsi. Baru-baru ini para anggota dewan akan melakukan tur ke luar negeri dengan embel-embel studi banding. Sebenarnya tidak masalah anggota dewan melakukan tur, walau ke luar negeri. Yang menjadi masalah adalah apakah outcome tur itu dapat diukur sebagaimana parameter yang dikehendaki dalam reformasi keuangan daerah seperti yang tertuang dalam UU No.32 tentang pemerintah daerah. Semua orang tahu bahwa ukuran tur ini sulit, apalagi dilakukan pada akhir masa jabatan.
Korban terhadap anggaran juga terjadi di tingkat nasional. Karena terimbas krisis global, pemerintah pusat memberikan anggaran stimulus untuk mengurangi dampak kesulitan ekonomi rakyat. Namun sangat disayangkan, stimulus belum klar, Abdul Hadi Djamal, politisi DPR dari PAN, terlibat negosiasi proyek sebesar Rp 100 miliyar untuk pembangunan Pelabuhan Selayar di Sulawesi Selatan (Tempo, 22 Maret 2009). Kasusnya masih ditangani oleh KPK sampai sekarang.
Pemilu April 2009 ini, yang diikuti oleh Pilpres pada Juli mendatang, hendaknya menghasilkan Eksekutif dan Legislatif dari sistem yang sama. Sehingga komunikasi politik, terutama yang berhubungan dengan keuangan (daerah) diharapkan menghasilkan singkronisasi dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran. Ada komitmen serius yang dilakukan pada waktu pelantikan nanti bahwa mereka duduk sebagai wakil adalah untuk kepentingan rakyat yang sudah lama didera kemiskinan akibat konflik horizontal. Kalau itu tidak dilakukan, berarti sama saja sebelum reformasi bahwa anggaran untuk pejabat.
0 komentar:
Posting Komentar