Minggu, 15 Mei 2011

Masalah Keagenan dalam Penganggaran Daerah

Masalah-masalah keagenan (agency problems) selalu muncul dalam setiap hubungan keagenan (principal-agent realtionship), baik sebelum kontrak dibuat (adverse selection) maupun setelah kontrak dibuat (moral hazard). Berbeda dengan kontrak keagenan dalam sektor bisnis yang dibuat secara ekplisit, di sektor publik kontrak tersebut tidak jelas (incomplete contract).
Salah satu praktik kontrak yang tidak lengkap dapat dilihat di pemerintahan. Moe (1985) menyatakan bahwa terdapat beberapa hubungan keagenan di pemerintahan, yakni: (a) Parlemen – Presiden, (b) Presiden – Menteri, (c) Menteri – Kepala Agensi, dan (d) Kepala Agensi – Staf Pemberi Pelayanan. Hal senada juga dikemukakan oleh Fozzard (2001) dan Patashnik (1996).
Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, hubungan keagenan dapat dibagi ke dalam 4 kategori, yakni: (a) DPRD – Kepala Daerah, (b) Kepala Daerah – Rakyat, (c) DPRD – Rakyat, dan (d) Kepala Daerah – Kepala SKPD, dan (e) Kepala SKPD – Staf SKPD. Hubungan keagenan ini dapat diminimalisir melalui mekanisme transparansi dan akuntabilitas, pengendalian, dan pemeriksaan pengelolaan keuangan daerah.
1. Hubungan Keagenan antara DPRD dan Kepala Daerah
Hubungan DPRD dan kepala daerah di Indonesia mengalami pergeseran dalam setidaknya satu dekade terakhir. Pergeseran ini dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang sama sekali mengubah pola hubungan yang telah ada sebelumnya. Beberapa ciri hubungan keagenan dalam UU 22/1999 ini adalah
  • Kepala daerah dipilih oleh DPRD. Pemilihan seorang kepala daerah dilakukan di gedung DPRD dengan satu anggota DPRD memiliki satu hak suara. Jika anggota DPRD melaksanakan kewenangannya memilih kepala daerah dengan didasarkan pada preferensi konstituennya, maka tidak timbul masalah moral hazard. Namun, pada kenyataannya sering terjadi anggota DPRD memiliki preferensi yang berbeda, misalnya karena adanya kepentingan partai politik tempatnya bernaung.
  • Kepala daerah diberhentikan oleh DPRD. Oleh karena kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka secara logika politik, DPRD juga dapat memberhentikannya.
  • Asimetri informasi. Perbedaan dalam hal pengalaman, pendidikan, dan intensitas kebersinggungan dengan semua aspek pengelolaan fungsi pemerintahan (termasuk keuangan), menyebabkan kepala daerah yang didukung oleh jajaran birokrasi memiliki keunggulan dibanding anggota DPRD. Di sisi lain,
  • Dominasi legislatif. Dalam penganggaran daerah, DPRD memiliki power yang sangat besar. Kepala daerah tidak dapat menolak keinginan DPRD karena kepala daerah dipilih dan diberhentikan oleh DPRD.
UU 22/1999 ini kemudian direvisi dengan terbitnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengurangi “kekuasaan” DPRD dalam hubungannya dengan pemilihan dan pemberhentian kepala daerah. Beberapa ciri hubungan keagenan dalam UU 32/2004 ini adalah
  • Kepala daerah dipilih oleh rakyat. Pasal UU No.32/2004 mengatakan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
  • Kepala daerah tidak bisa diberhentikan oleh DPRD. Oleh karena hubungan kepala daerah-DPRD bersifat horizontal, tidak ada yang menjadi bawahan yang lain, maka bentuk
  • Asimetri informasi. Peraturan perundangan memberikan “kekuasaan” lebih besar kepada ekeskutif dalam proses penganggaran, dimana DPRD bukanlah pengusul peraturan daerah tentang APBD, meskipun DPRD memiliki fungsi penganggaran.
  • Dominasi eksekutif. Dalam penganggaran, eksekutif menjadi sangat dominan karena perencanaan anggaran dan pengalokasian sumber daya dirancang oleh eksekutif. DPRD seakan-akan kehilangan kekuatan untuk menentukan prioritas anggaran ketika rancangan dan kebijakan anggaran disusun oleh eksekutif dan kemudian dibahas bersama legislatif dalam kondisi waktu yang sempit. Selain itu, kapabilitas dan integritas anggota DPRD yang rendah menyebabkan DPRD tidak berperan penting dalam penentuan alokasi anggaran untuk proyek-proyek yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat.
2. Hubungan Keagenan Kepala Daerah – Rakyat
Diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan era baru “demokrasi” di Indonesia: rakyat boleh memilih langsung pemimpinnya, tidak lagi melalui lembaga perwakilan (DPRD dan DPR).  Sebelumnya DPRD dan DPR memilih kepala daerah dan presiden, padahal anggota DPRD/DPR adalah wakil partai politik yang pemilihannya ditentukan berdasarkan suara terbanyak untuk masing-masing partai. Rakyat tidak bisa memilih wakil yang bisa dipercaya karena suara mereka “ditelan” oleh oligarki partai politik. Akibatnya, “suara”, “teriakan”, ataupun “jeritan” rakyat didengar setengah hati oleh wakilnya di parlemen karena memang tidak ada “kontrak” di antara mereka.
Oleh karena rakyat memilih langsung kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), maka seorang calon kepala daerah haruslah bisa “menjual” dirinya, terutama pada saat kampanye. Janji-janji kampanye dibuat sebaik mungkin sehingga sesuai dengan “selera” rakyat pemilih, meskipun seharusnya janji-janji tersebut seharusnya dapat direalisasikan apabila nanti benar-benar terpilih sebagai pemimpin.
Ketika seorang kepala daerah akhirnya terpilih, maka paling lambat tiga bulan setelah pelantikan, diwajibkan menyelesaikan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). RPJMD memuat visi dan misi yang dijanjikan sewaktu kampanye dan target yang ingin direalisasikan selama lima tahun masa jabatan kepala daerah bersangkutan. RPJMD kemudian ditetapkan menjadi Perda oleh kepala daerah dan DPRD, dimana DPRD bertindak sebagai wakil rakyat yang memiliki fungsi legislasi (penetapan Perda), penganggaran (penetapan Perda APBD), dan pengawasan (penetapan Perda pertanggungjawaban pelaksanaan APBD). Dengan demikian, RPJMD sesungguhnya merupakan sebuah bentuk “kontrak masa jabatan” antara kepala daerah dengan masyarakat.
RPJMD kemudian didjabarkan ke dalam rencana pembangunan tahunan, yang menjadi dasar penyusunan anggaran tahunan daerah, yakni RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Kepala daerah mendelegasikan penyusunan RKPD kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), yang menyelenggarakan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah) untuk mengidentifikasi program/kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya oleh SKPD dengan mempertemukan konstituen dan SKPD terkait.
RKPD adalah dokumen yang memuat program/kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya, yang sudah dibicarakan (dan “disepakati”) oleh kepala daerah (diwakili SKPD) dengan rakyatnya (diwakili utusan dari kecamatan). Daftar program/kegiatan ini akan menjadi sumber untuk didanai dalam APBD, sesuai dengan kebijakan dan prioritas anggaran. Meski tidak sepenuhnya bisa dihilangkan, setidaknya masalah keagenan berupa budgetary slack(kesenjangan anggaran) di antara kepala daerah dan rakyat (baca: voters) dapat diminimalisir ketika kebijakan dan prioritas anggaran (yang memuat target program/kegiatan) dibahas bersama antara kepala daerah dan anggota DPRD.
APBD memuat alokasi sumberdaya yang digunakan untuk mencapai setiap target kinerja program/kegiatan. Alokasi untuk setiap kegiatan mencakup belanja (1) pegawai, (2) barang dan jasa, dan (3) modal.  Komposisi dan besaran ketiga jenis belanja ini ditentukan oleh Pemda sendiri dengan menerbitkan peraturan atau keputusan kepala daerah tentang analisis standar belanja (ASB) dan standar harga barang dan jasa (SHBJ). Beberapa bentuk persoalan keagenan dalam pengalokasian sumberdaya ini adalah:
  • Penentuan alokasi yang terlalu besar atau lebih besar dari kebutuhan yang sebenarnya (mark-up).
  • Penentuan target kinerja yang terlalu rendah (understatement).
  • Pemrioritasan yang tidak sesuai dengan preferensi publik.
  • Komposisi belanja yang tidak sejalan dengan upaya pencapaian target kinerja.
3. Hubungan Keagenan DPRD – Rakyat

0 komentar: