DI tengah hiruk pikuk soal terorisme dan sengketa pilpres, ada fakta serius yang luput dari perhatian kita. Serius karena fakta itu menyangkut hajat hidup rakyat di berbagai daerah. Lebih serius lagi karena perkara yang menyangkut hajat hidup rakyat itu tidak kunjung ditangani secara benar dan profesional. Fakta itu ialah pengelolaan keuangan di daerah.
Hari berganti hari, tapi kemampuan daerah mengelola uang negara, baik uang dari pusat maupun yang bersumber dari daerah itu, semakin hari malah semakin memburuk. Kenyataan tersebut secara gamblang bisa kita ketahui dari makin sedikitnya laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tahun ini jumlahnya hanya delapan daerah dari 164 LKPD yang dilaporkan. Padahal, pada 2004 lalu jumlah laporan keuangan daerah yang mendapatkan opini terbaik berjumlah 21 buah. Pada 2005 turun menjadi 17 daerah, bahkan sejak 2006 merosot tajam menjadi kurang dari 10 daerah.
Semua itu menunjukkan dengan sangat terang-benderang, betapa rendahnya kompetensi daerah dalam mengelola keuangan negara. Padahal, kian tahun jumlah dana yang digulirkan ke daerah terus meningkat bak deret ukur.
Dalam lima tahun terakhir, transfer dana APBN ke daerah meningkat lebih dari dua kali lipat, dari Rp150,5 triliun pada 2005 menjadi Rp309,8 triliun pada RAPBN 2010. Apakah yang akan terjadi bila jumlah uang negara yang harus dikelola terus membengkak, tetapi sebaliknya kemampuan untuk mengelolanya semakin merosot?
Masih ada persoalan lain. Di satu pihak uang negara yang mengalir ke daerah semakin deras, namun di lain pihak pemerintah daerah tidak mampu menyalurkannya untuk menggerakkan perekonomian. Buktinya, banyak benar uang itu ditempatkan pada SBI.
Bertambah celaka sebab daerah sepertinya tak melakukan koreksi diri, bahkan menjadi tidak tahu diri. Buktinya, daerah terus saja meminta anggaran dari pusat lebih banyak lagi, bahkan sampai-sampai menjadi dominan dalam porsi anggaran pendapatan dan belanja daerah. Padahal, mereka kesulitan dalam menyerap anggaran itu menjadi proyek yang akuntabel.
Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disampaikan Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar, akhir bulan lalu, menunjukkan buruknya akuntabilitas itu. Banyak kasus korupsi yang terjadi di daerah berawal dari penyelewengan dana di daerah.
KPK, misalnya, menemukan ada imbalan yang didapat dari penyimpanan dana milik pemerintah daerah pada suatu bank tidak masuk ke kas daerah, tapi masuk kantong pribadi. Karena itu, mekanisme hukuman dan ganjaran mesti ditegakkan.
Pemerintah pusat harus tegas terhadap daerah yang tak becus mengurus uang negara. Potong saja kucuran anggaran ke daerah yang gagal menyerap dana secara tuntas dan akuntabel. Sebaliknya, pemerintah juga tidak boleh ragu-ragu menambah anggaran untuk daerah yang mampu mengelola uang dengan cermat, jelas, dan akuntabel.
Kalau perlu, beri mereka tambahan keleluasaan mengelola uang, asal untuk tujuan produktif. Dengan demikian, yang dungu dan korup menjadi malu, sedangkan yang cerdas, produktif, dan bersih memberi inspirasi kepada daerah lain yang ingin maju.
0 komentar:
Posting Komentar