Senin, 16 Mei 2011

Apakah Pemda “Wajib” Melaksanakan Permendagri 13/2006?

Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini mungkin sedikit aneh dan provokatif. Atau mungkin juga dianggap bukan pada tempatnya untuk ditulis di blog yang dibaca oleh banyak teman-teman dari Pemda dan mahasiswa. Namun, karena pertanyaan tersebut sangat mengganggu saya, maka saya ingin menuliskannya di sini, meskipun akan mendapat kritik dan tanggapan yang nadanya berbeda dari para pembaca. Semoga bisa menjadi bahan diskusi yang hangat. Amin.
1. Latar Belakang
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pertanyaan yang menjadi judul tulisan di atas. Pertama,dalam pasal 7 UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan mencakup:
  • Undang-Undang Dasar 1945,
  • Undang-Undang (UU),
  • Peraturan Penggantu Undang-Undang (Perpu),
  • Peraturan Pemerintah (PP),
  • Peraturan Presiden (Perpres), dan
  • Peraturan Daerah (Perda)
Sementara pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perunang-undangan Republik Indonesia adalah
  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
  3. Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu);
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.
Dari hirarki di atas terlihat bahwa Perda berada di bawah Perpres dan PP, namun tidak disebutkan bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) dan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu atau PMK) merupakan bagian dari hirarki tersebut. Artinya, Permendagri dan Permenkeu (PMK) bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan dan bukan pula berkedudukan lebih tinggi dari Perda. Dengan demikian, apakah Pemda berkewajiban untuk melaksanakan kedua peraturan menteri tersebut?
Kedua, dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) sering disebutkan oleh auditor bahwa aparatur daerah dan SKPD melakukan pelanggaran terhadap Permendagri 13 untuk kegiatan dan belanja tertentu, baik dalam penatausahaan maupun dalam pelaporan keuangannya. Jika Permendagri 13 bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan, mengapa auditor BPK-RI menyatakan terjadi pelanggaran? Yang lebih menarik (lebih tepatnya menimbulkan pertanyaan “aneh”) lagi adalah auditor BPK sering membawa-bawa surat edaran (SE) Mendagri atau Menkeu dan menyatakan Pemda melanggar SE tersebut. Mengapa auditor BPK-RI menyataka demikian?
Ketiga, kepala SKPD dan aparatur daerah yang ada di sebuah SKPD bukanlah anak buah Mendagri. Kepala dinas bukan diangkat dan diberhentikan oleh Mendagri, begitu pula PNS di SKPD, tidak diangkat dan dipecat oleh Mendagri. Jika faktanya seperti itu, mengapa harus taat dan patuh pada peraturan yang dikeluarkan Mendagri? Apakah kalau SKPD tidak mematuhi Permendagri, maka Mendagri akan meminta kepala daerah memecat kepala SKPD dan PNS di SKPD? Apakah Permendagri 13/2006 dimaksudkan sebagai “pedoman pelaksanaan” pengelolaan keuangan Pemda atau hanya sekedar acuan atu contoh bagi Pemda dalam membuat peraturan pelaksanaan Perda pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah?
2. Implementasi Permendagri 13/2006 dan Permasalahannya
Sebagian Pemda mengimplementasikan Permendagri 13/2006 “apa adanya”. Yang dimaksud dengan “apa adanya” adalah setiap SKPD mengunakan Permendagri 13/2006 dalam penyusunan rencana kerja (Renja), RKA-SKPD, penatausahaan, dan akuntansi untuk penyusunan laporan keuangan SKPD. Dengan demikian, setiap SKPD setidaknya memiliki satu eksemplar buku Permendagri 13/2006 yang menjadi acuan sekaligus pedoman dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah (baca: APBD) di SKPD bersangkutan.
Meskipun demikian, pada kenyataannya kebanyakan aparatur daerah di SKPD tidak memahami substansi Permendagri 13/2006 tersebut, kecuali menyimpulkan bahwa jika Permendagri 13/2006 tidak dipatuhi maka akan menjadi persoalan besar ketika diaudit oleh BPK RI. Kesulitan aparatur SKPD dalam memahami substansi Permendagri 13/2006 dapat dimaklumi karena:
  • Konsep-konsep dalam Permendagri 13/2006 masih baru, seperti maksud dari kata “kinerja” (bagaimana pengertian, pengukuran, penganggaran, dan pertanggungjawabannya?), unified budgeting, kerangka pengeluaran jangka menengah, belanja langsung vs belanja tidak langsung, posisi bendahara (sebelumnya pemegang kas) terhadap kepala SKPD (pengguna anggaran sekaligus pengguna barang), SPM yang diterbitkan oleh pengguna anggaran), pertanggungjawaban anggaran berupa laporan keuangan (sementara di SKPD tidak ada yang tahu apa itu akuntansi), dan lain-lain.
  • Kurangnya sosialisasi langsung ke SKPD, baik oleh Pemda sendiri (biasanya dilaksanakan oleh SKPKD/Dinas Pengelola Keuangan/BUD) maupun oleh Pemerintah (Departemen Dalam Negeri). Di Pemda sendiri ada ego sektoral dimana bagi sebagian oknum di SKPKD, semakin bodoh atau tidak paham pejabat/staf yang ada di SKPD justru lebih baik karena bisa dimanfaatkan untuk tujuan tertentu bagi pemenuhan kepentingan oknum bersangkutan (biasanya untuk mendapatkan keuntungan finansial).
  • Oportunisme oknum dari ekternal Pemda, seperti oknum BPKP yang menjadi konsultan pendamping, namun tidak melakukan transfer of knowledge kepada aparatur daerah. Software gratis yang diberikan ternyata harus dilampiri dengan “biaya pemeliharaan” yang besar karena harus mendatangkan oknum bersangkutan setiap ada masalah yang terkadang sangat operasional/teknis, bukan masalah gangguan pada software.Selain itu, ada konsultan swasta yang turut bermain dengan cara berkolusi dengan aparat Pemda untuk merealisasikan anggaran untuk pengadaan software, pembuatan modul, atausistem-prosedur keuangan daerah untuk sekedar “sekali pakai”. Dengan begitu, pada setiap tahun selalu ada anggaran untuk hal yang mestinya hanya dilakukan sekali, kecuali terjadi perubahan peraturan perundangan seperti Peraturan Pemerintah atau Perda.
3. Perdebatan tentang Permendagri 13/2006: Amanat PP No.58/2005?
Dalam logika otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, Pemda diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kepala daerah didapuk sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah atau PKPKD (lihat pasal 5 PP 58/2005). Sebagai pemegang kekuasaan dan selaku kepala pemerintah daerah, kepala daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan membuat peraturan kepala daerah sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Namun, pemahaman tersebut menjadi sulit dipegang karena adanya bunyi pasal 155 (Bab XVIII Penutup): “Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri“. Apakah pasal 155 memberi makna tegas bahwa Permendagri 13/2006 setara atau sama kuatnya dengan PP 58/2005?
Untuk memahami posisi pasal 155 tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu substansi Bab XV PP No.58/2005, yang oleh Pemerintah diberi judul: Pengaturan Pengelolaan Keuangan. Pasal 151 pada bab ini berbunyi:
Ayat (1): Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2): Berdasarkan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.
Maksud yang terkandung pada ayat 1 pasal 151 adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dipayungi secara hukum oleh sebuah Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi (yakni Peraturan Pemerintah). Sepanjang sudah sesuai dengan PP 58/2005 atau PP lain yang berkaitan dengan keuangan daerah, maka Permendagri 13/2006 bukanlah acuan, apalagi pedoman, dalam penyusunan Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.
Sedangkan maksud yang tersirat pada ayat 2 pasal 151 tersebut adalah bahwa kepala daerah dapat membuat (beberapa) peraturan kepala daerah sebagai petunjuk teknis atau pedoman pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Apabila Pemda ingin mengimplementasikan (mentah-mentah) Permendagri 13/2006 sebagai pedoman dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk dalam hal sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah, maka terlebih dahulu seluruh istilah Menteri Dalam Negeri diganti dengan Gubernur/Bupati/Walikota. Artinya, secara teknis tinggal lakukan select all, replace, dst… untuk file Word dokumen Permendagri 13/2006.
Setelah judul Permendagri 13/2006 diganti menjadi Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota dengan penyesuaian istilah dalam isinya, maka yang dilaksanakan oleh SKPD adalah peraturan yang dikeluarkan oleh kepala daerah, bukan Menteri Dalam Negeri. Oleh karena juragan atau bos seorang kepala SKPD (selaku pengguna anggaran dan pengguna barang) adalah kepala daerah (yang mengangkat dan memberhentikan mereka), maka peraturan kepala daerah lah yang wajib dipatuhinya, bukan peraturan Menteri Dalam Negeri (karena Mendagri tidak punya hubungan apa-apa dengan kepala SKPD).
Perubahan nama peraturan ini, meskipun isinya sama persis, menunjukkan hirarki peraturan perundang-perundangan tidak dilanggar, prinsip otonomi daerah tetap dipatuhi (tidak dikangkangi oleh Pemerintah sendiri melalui “pemaksaan” oleh auditor BPK-RI), dan semua SKPD memiliki pemahaman yang relatif sama terkait dengan peraturan perundang-undangan yang harus mereka pahami

0 komentar: