Kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional dan keuangan negara diwujudkan, dalam bentuk dividen, pajak, yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Termasuk juga sumbangan BUMN dalam belanja modal atau investasi (Capital Expenditure/Capex).
Berbagai kebijakan yang dilakukan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kinerja BUMN. Kendati demikian, ada banyak pertanyaan terhadap kinerja dan format pengelolaan BUMN. Berikut sampaikan jawaban Kementerian Negara BUMN, terkait perkembangan pengelolaan BUMN. Petikannya:
Bisa dijelaskan kebijakan pengelolaan BUMN ke depan?
Visi pengelolaan BUMN menjadi instrumen Negara dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pendekatan korporasi. Sasaran yang dituju ialah peningkatan kinerja dan daya saing BUMN, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, serta peningkatan sumbangan terhadap keuangan negara.
Untuk mencapai sasaran tersebut, Kementerian Negara BUMN mengembangkan lima arah kebijakan, meliputi: pertama, koordinasi dengan departemen/instansi terkait untuk penataan kebijakan industrial dan pasar BUMN terkait. Kedua, memetakan BUMN ke dalam kelompok BUMN public sevice obligation (PSO) dan kelompok BUMN komersial (business oriented). Ketiga, melanjutkan langkah-langkah restrukturisasi yang semakin terarah dan efektif terhadap orientasi dan fungsi BUMN tersebut. Keempat, memantapkan penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kelima, mengoptimalkan sinergi antar BUMN agar dapat meningkatkan daya saing dan memberikan multiplier effect kepada perekonomian Indonesia.
Untuk itu, Kementerian Negara BUMN menjalankan program pembinaan dan pengembangan, meliputi penuntasan pemetaaan fungsi masing-masing BUMN, sehingga fungsi BUMN terbagi secara jelas menjadi BUMN PSO dan BUMN Komersial; pemantapan upaya revitalisasi BUMN, antara lain melalui penerapan GCG dan Statement of Corporate Intent (SCI), serta control kinerja yang terukur; dan pemantapan pelaksanaan restrukturisasi BUMN.
Ada stigma, bahwa BUMN selalu rugi dan tidak memberikan kontribusi signifikan kepada negara?
Perlu kami tegaskan, asumsi yang telah menjadi stigma itu tidak benar. Dari tahun ke tahun, BUMN menunjukkan peningkatan keuntungan yang cukup signifikan. Pada tahun 2004, laba bersih BUMN baru mencapai Rp42,14 triliun, pada tahun berikutnya memang nilai kenaikan terhitung kecil, yaitu 0,24 ersen (Rp42,31 triliun). Tahun-tahun berikutnya, melalui pembinaan dan pembenahan yang lebih terarah, terjadi kenaikan laba bersih yang cukup signifikan. Tahun 2006 keuntungan bersih mencapai Rp53,16 triliun (tumbuh 25,63 persen), dan tahun 2007 (pragnosa) tumbuh hingga 34,68 persen atau mencapai Rp71,59 triliun. Tahun 2008 sesuai RKAP laba bersih diproyeksikan mencapai Rp 81, 20 triliun. Kendati demikian, peningkatan kinerja dan kontribusi harus terus ditingkatkan agar peranan BUMN dalam recovery perokonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat makin meningkat.
Jumlah BUMN yang mengalami kerugian masih cukup besar?
Memang harus diakui masih ada BUMN yang merugi. Namun dari tahun ke tahun, nilai kerugian terus menurun. Tahun 2004 terdapat 28 BUMN rugi, dengan total nilai kerugian mencapai Rp5,83 triliun. Tahun 2005 jumlah BUMN rugi meningkat menjadi 36 BUMN, dengan total kerugian Rp6,83 triliun. Tahun 2006 jumlah BUMN rugi kembali meningkat menjadi 39 BUMN, namun total nilai kerugian turun hingga mencapai Rp3,80 triliun. Pragnosa 2007, jumlah BUMN rugi mencapai 28 BUMN dengan total kerugian Rp2,94 triliun. Sesuai RKAP 2008, jumlah BUMN rugi hanya akan tinggal 11 BUMN, dengan kerugian hanya mencapai Rp0,23 triliun.
Penyumbang kerugian terbesar dari tahun ke tahun adalah PT PLN. Pragnosa tahun 2007 kerugian PLN tinggal mencapai Rp1,5 triliun. Merujuk pada RKAP, tahun 2008 ini untuk pertama kalinya PLN tidak akan merugi lagi. Dengan demikian PLN akan mengikuti jejak PT Garuda Indonesia, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah keberadaannya, membukukan keuntungan pada tahun 2007 lalu.
Apa tindakan Kementerian BUMN untuk membenahi BUMN rugi tersebut?
Harus melihat faktor dominan apa yang menyebabkan BUMN tersebut rugi. BUMN mengalami kerugian bisa karena mismanagement dan inefisiensi, mengemban fungsi PSO, atau karena sebab lain.
Untuk BUMN yang rugi karena faktor mismanagement, misalnya adanya praktik-praktik yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip GCG oleh jajaran direksi, maka jalan keluarnya adalah dengan melakukan leadership reform pada BUMN bersangkutan. Ada juga sejumlah BUMN yang rugi karena menjalankan tugas public service obligation (PSO), yang secara bisnis tidak menguntungkan.
Bisa digambarkan kontribusi BUMN selama ini?
Kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional dan keuangan negara diwujudkan dalam beberapa bentuk. Pertama, dividen yang disetorkan ke APBN. Tahun 2004 nilai setoran dividen baru mencapai Rp9,8 triliun. Pragnosa tahun 2007 dividen yang disumbangkan BUMN sudah mencapai Rp23,8 triliun, dan merujuk pada RKAP tahun 2008, dividen yang disumbangkan mencapai Rp31,4 triliun. Realisasi setoran dividen tersebut selalu di atas target yang ditetapkan DPR.
DPR menargetkan dividen tahun 2008 sebesar Rp23,4 triliun, namun Departemen Keuangan meminta tambahan dividen sebesar Rp8 triliun, sehingga target dividen menjadi Rp31,4 triliun.
Sumbangan terhadap APBN juga berasal dari dana hasil privatisasi. Seperti halnya dividen, besar privatisasi yang harus disumbangkan ke APBN telah ditetapkan oleh DPR. Namun ada perbedaan mendasar antara privatisasi di masa lalu dan privatisasi di era Kabinet Indonesia Bersatu. Jika pada masa lalu privatisasi semata-mata dimaksudkan untuk menunjang APBN, maka paradigma baru yang dikembangkan saat ini adalah privatisasi juga diarahkan untuk pengembangan korporasi BUMN. Sumbangan lainnya adalah dalam bentuk pajak, yang dari tahun ke tahun terus meningkat.
Yang juga layak dicatat adalah sumbangan BUMN dalam belanja modal atau investasi (Capital Expenditure/Capex). Capex berperan besar dalam menunjang pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Tahun 2004 apex BUMN baru mencapai Rp32 triliun, pragnosa tahun 2007 meninkat menjadi Rp91 triliun, dan RKAP 2008 Capex diproyeksikan mencapai Rp151 triliun.
BUMN juga diwajibkan membina usaha kecil dan berperan dalam masalah lingkungan dan sosial. Bagaimana realisasi peran tersebut?
Peran dalam dua bidang tersebut diwadahi dalam bentuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Realisasi pelaksanaan Program Kemitraan sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2006 dan pragnosa tahun 2007, jumlah dana yang disalurkan mencapai Rp 6,07 triliun, dengan jumlah mitra binaan mencapai 479.502 unit.
Sedangkan jumlah bantuan dalam skema Bina Lingkungan sejak tahun 1999 sampai dengan 2006, adalah: jumlah dana sebesar Rp732,2 miliar, dengan jenis bantuan meliputi bencana alam, pendidikan dan pelatihan, bantuan sarana kesehatan, bantuan sarana ibadah, dan pelestarian alam.
Hal lain yang cukup penting dalam menunjang perekonomian nasional, adalah peran BUMN terbuka dalam pasar modal Indonesia. Hal ini tercermin dari nilai kapitalisasi pasar BUMN-BUMN tersebut. Total kapitalisasi pasar dari 14 BUMN Terbuka per 6 Maret 2008 mencapai Rp598,82 triliun atau 30,71% dari total kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia (BEI).
Bagaimana program peningkatan kinerja BUMN tahun 2008?
Dalam rangka peningkatan kinerja BUMN, Kementerian Negara BUMN mengimplementasikan program penciptaan nilai tambah (value creation) melalui program pokok sebagai berikut: (1)Penguatan Institusi Kementerian Negara BUMN dan Praktik Good Governance. (2) Penguatan Institusi Korporasi BUMN dan Praktik Good Corporate Governance. (3) Penguatan Basis Pendapatan BUMN (antara lain Program Sinergi antar BUMN, kerjasama dengan departemen teknis, pendayagunaan aset menganggur). (4) Peningkatan Efisiensi Biaya BUMN (a.l. Program Audit Energi, rasionalisasi tunjangan/fasilitas kesehatan dan PSL lainnya, pengadaan barang/jasa secara lebih transparan dan kompetitif termasuk melalui e-procurement). (5) Penyelesaian Masalah Strategis BUMN (antara lain Pinjaman ex RDI/SLA, BPYBDS [Bagian Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya], masalah pertanahan [ex HGU, penyerobotan tanah]). (6) Akselerasi Restrukturisasi BUMN (antara lain penyehatan BUMN rugi, pembentukan holding BUMN, deklarasi perusahaan publik, privatisasi melalui pasar modal, strategic investor participation for better governance). (7) Peningkatan Kapasitas Pembiayaan BUMN (antara lain reksa dana khusus BUMN, penyaluran kredit investasi dari bank BUMN). (9) Peningkatan Efektivitas PKBL (penyelarasan dan koordinasi penyaluran yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah misalnya untuk menunjang Program Peningkatan Ketahanan Pangan). Pada saat yang sama, dilakukan pula penguatan institusi Kementerian Negara BUMN dan institusi korporasi BUMN.
Bagaimana gambaran optimalisasi peran BUMN di masa depan?
Karakteristik BUMN di masa depan bisa digambarkan sebagai berikut: (1) Berdaya saing global, terutama di bidang: natural resource based, financial based, technology and knowledge based,logistics and infrastructure based. (2) Kontribusi yang optimal kepada negara dan stakeholders. (3) Struktur keuangan yang sehat dan kondisi operasional yang kuat. (4) Instrumen pelaksanaanpublic policy yang handal.
Untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan pemetaan BUMN yang mengarah pada terbentuknyaSuperholding BUMN.
Masalah strategis apa yang selama ini menjadi kendala dalam optimalisasi kinerja BUMN?
Pertama, menyangkut landasan hukum pengelolaan BUMN. Jumlah aturan hukum yang melingkupi operasional BUMN jauh lebih banyak dibanding yang mengatur korporasi swasta. Hal itu menempatkan BUMN dalam level of playing field yang tidak sama dengan swasta. Ini tentu berdampak pada tingkat daya saing BUMN terhadap swasta.
Kedua, terkait dengan status aset BUMN. Aset BUMN adalah aset Negara yang dipisahkan namun pengelolaannya tidak tunduk pada UU Keuangan Negara (sesuai dengan UU BUMN). Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara: “Keuangan Negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Dampaknya BUMN tidak fleksibel dalam mengelola aset, sebagaimana halnya pengelolaan korporasi.
Dalam hal penghapusan aset, BUMN harus tunduk pada mekanisme korporasi, namun penegak hukum masih berpegang pada Pasal 8 UU 49/Prp 1960. Untuk itu amat mendesak dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan tersebut di atas, serta kesalahpahaman dengan instansi dan departemen terkait.
Ketiga, menyangkut PSO dan subsidi. Sesuai pasal 66 UU BUMN, maka dalam hal penugasan kepada BUMN, seluruh biaya harus ditanggung oleh Pemerintah ditambah dengan margin. Apabila ketentuan ini dilaksanakan secara konsekuen, maka tidak akan terjadi masalah pada BUMN penerima subsidi dan BUMN yang menjalankan peran PSO. Namun yang terjadi selama ini ketentuan UU tersebut belum terlaksana sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan persoalan bagi BUMN bersangkutan.
Keempat, menyangkut regulasi sektoral. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi regulasi sektoral untuk mendukung pelaksanaan kegiatan usaha BUMN. Misalnya UU Bidang Kehutanan, UU Bidang Pelayaran, UU Bidang Kepelahuban, UU Bidang Telekomunikasi, UU Bidang Pertambangan.
Bagaimana permasalahan keuangan BUMN?
Terkait dengan permasalahan keuangan, bisa dipetakan sebagai berikut: Pertama: Jumlah pinjaman RDI dan SLA sebanyak 63 BUMN dengan total pinjaman equivalen Rp46,2 triliun. Dari jumlah tersebut yang perlu direstrukturisasi karena kurang lancar dan macet sebanyak 47 BUMN dengan total pinjaman equivalen Rp15,4 triliun terdiri dari RDI sebesar Rp5,5 triliun dan SLA equivalent dengan Rp9,9 triliun. Kedua: Restrukturisasi Keuangan BUMN tersendat karena peraturan perundang-undangan tentang keuangan Negara dan UU tentang Perseroan Terbatas. Ketiga: tambahan Penyertaan Modal Negara. Antara lain: Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS). Rinciannya adalah: (1)Jumlah yang sudah direkonsiliasikan adalah sebesar Rp32,3 triliun dan €7,30 juta pada 16 BUMN, yaitu PT PLN, PT PGN, PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, PT Pelindo I, PT Pelindo III, PT Pelindo IV, PT Jakarta Loyd, PT KAI, PT ASDP, PT PELNI, Perum Perikanan Samudera, Perum Bulog, Perum Percetakan Negara RI, Perum Jasa Tirta I dan Perum Jasa Tirta II. (2) BPYBDS yang belum diinventarisasi hanya pada PT Pertamina, mengingat Pertamina saat ini masih dalam proses penilaian/inventarisasi untuk menetapkan neraca pembuka. (3) Dalam penetapan BPYBDS menjadi tambahan PMN, terlebih dahului dilakukan audit oleh BPKP dan dilakukan rekonsiliasi antara BUMN dengan Departemen Teknis bersama Departemen Keuangan.
Kalau yang tadi terkait dengan BPYBDS, yang berikutnya adalah soal pengalihan Kekayaan/Barang Milik Negara kepada BUMN Kepada BUMN Kekayaan/Barang milik Negara seperti: proyek ex-DIPA, dan lain-lain sebelum dialihkan kepada BUMN perlu dilakukan kajian keekonomian, sehingga tidak memberatkan perusahaan.
Bagaimana dengan desakan sejumlah kalangan untuk menjadikan BUMN sebagai Badan Publik?
BUMN didak dapat dikategorikan sebagai badan publik, karena BUMN adalah badan usaha bukan institusi pemerintah, sehingga: (a) BUMN tidak dapat dijadikan sebgai subjek hukum dalam RUU KIP. (b) Untuk transparansi BUMN, akan dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan hukum UU BUMN dan Pasar Modal. (c) Selain itu keinginan untuk memasukkan BUMN sebagai badan publik akan menyebabkan adanya keterbukaan informasi yang berkaitan dengan rahasia dagang sebagaimana tercantum dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang rahasia dagang
0 komentar:
Posting Komentar