Senin, 16 Mei 2011

Format Ideal Pengelolaan BUMD

Karena BUMD merupakan bagian dari organ pemda, maka sulit untuk mendapatkan fasilitas dari lembaga penunjang, misalnya bank, perizinan, dan lain-lain. 
Otonomi daerah, selain memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing, juga memberikan kesempatan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola potensi-potensi bisnis yang ada di daerah. Berdasarkan data Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI), jumlah BUMD hingga kini mencapai 1.174, yang terdiri dari sektor perbankan, rumahsakit daerah, PDAM, pasar, properti, logistik, dan sebagainya.
Seiring dengan semangat otonomi tadi, BUMD-BUMD baru pun bermunculan. Namun tidak sedikit dari BUMD yang didirikan itu, hanya sekedar pajangan. Karena belum memiliki core business. Seorang direksi BUMD menuturkan, perusahaanya sudah dibentuk berikut organnya, tapi core businessnya belum jelas. “ Saya dirut BUMD, tapi, BUMD kami belum ada kegiatan,”ujar seorang direksi BUMD, asal Sulawesi, dalam sebuah seminar BUMD di Jakarta.
Dari sisi kelembagaan, BUMD, menurut Komisaris Utama PERUSDA Batubara Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Dr. Marwah M. Diah, adalah, bagian dari struktur birokrasi pemerintah daerah. Di mana, pengelola tidak profesional. Kebanyakan adalah pegawai pemda yang akan pensiun dan tidak punya pengalaman dan wawasan entrepreneurship.
Selain itu, menurut Mantan staf ahli Menteri Badan Usaha Milik Negara, ini, tidak ada otonomi bagi manajemen. Karena BUMD merupakan bagian dari organ pemda, maka sulit untuk mendapatkan fasilitas dari lembaga penunjang, misalnya bank, perizinan, dll. ”Kreditur sulit menetapkan siapa yang bertanggung jawab dan kolateral yang diminta,” jelasnya.
Pengelolaan BUMD, lanjut Marwah, harus berlandaskan UUD 1945: Pasal 33 (3): Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun pedoman hukumnya masih berdasarkan UU No. 5/1962 tentang Perusahaan Daerah. Kemudian dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 177, disebutkan, pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
”Pedoman UU No. 5 tahun 1962 dan UU No. 32 dan tahun 2004 itu, tidak jelas. Karena kalau UU PT kan jelas syarat RUPS, organ komisaris, organ perusahaan dan sebagainya. Dalam UU Otda, hanya memberikan kesempatan kepada masing-masing pemerintah daerah untuk otonomi, membangun dan mendirikan BUMD. Kelanjutannya, tidak jelas,” paparnya.
Untuk bisa mengoptimalkan peran BUMD, menurut Marwah, harus merevisi UU No.5 Tahun 1962, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan perubahan iklim bisnis pada tataran domestik dan global. Berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, juga, gubernur, bupati/Walikota dapat mendirikan dan mengelola BUMD sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis berdasarkan semangat dan norma-norma UU N0. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, misalnya prinsip good corporate governance, otonomi manajemen, dll.
Menurutnya, secara nasional perlu sosialisasi kepada pemerintah dan DPR RI dan khususnya juga para stake holder lainnya, untuk segera melakukan revisi UU No. 5/1962 tentang Perusahaan Daerah. Pertimbangannya adalah: Otonomi daerah berarti juga otonomi dalam sektor ekonomi, tidak hanya otonomi sektor politik. Jadi menurutnya, diperlukan landasan hukum yang dapat menjadi pijakan atau pedoman BUMD yang tangguh dan dapat berperan sebagai lembaga bisnis yang profesional, mandiri dan dapat berkiprah serta memenuhi tuntutan bisnis domestik & global.
”BUMD harus didaya gunakan sebagai lembaga bisnis yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi kemakmuran masyarakat,” jelasnya.
Dari sisi kelembagaan, jelas Marwah, harus berbentuk PT; CV dan Koperasi. Di sini peran gubernur, bupati/walikota hanya bertindak sebagai pemilik yang mempunyai kewenangan hanya sebagai pemegang saham mayoritas.
Pemerintah daerah tidak mencampuri operasional BUMD. Keberhasilan direksi BUMD diukur berdasarkan kinerja dan memakai ukuran/prinsip manajemen keuangan yang sehat. Sebelum diangkat menjadi direksi, masing-masing direksi membuat kontrak manajemen sesuai prinsipGood Corporate Governance (GCG).
Porsi kepemilikan saham BUMD, khususnya yang mengelola SDA harus minimal 51%. Porsi ini merupakan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 33 (3). Privatisasi dapat diterima sepanjang pemda masih sebagai pemegang saham majoritas, dan hasilnya untuk kepentingan BUMD, bukan untuk dipergunakan menambah kekurangan APBD. Sebenarnya sistim profitisasi adalah prinsip ideal dalam pengelolaan BUMD. Profitasi berarti kepemilikan BUMD tetap ditangan pemerintah daerah, tapi cara pengelolaan murni bisnis tanpa campur tangan pemerintah dalam operasionalnya BUMD, yang sesuai dengan amanat konstitusi.
Ruang Lingkup Usaha
Mengelola sumber daya alam ataupun potensi yang dimiliki dan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah (comparative advantage). Prinsip manajemen harus fokus dan agar dihindari misalnya suatu daerah yang tidak memiliki sumber daya alam, sumber daya manusia & potensi wisata, daerah tersebut mendirikan BUMD yang bergerak dalam sektor pariwisata.
Menjadi pengelola utama SDA yang berada dalam lingkungan wilayah masing-masing, SDA yang sudah di kelola oleh BUMN atau investor asing dapat dilakukan kerjasama (joint operation, dll)
BUMD tidak perlu bergerak dalam sektor usaha yang dapat dilakukan oleh kalangan usaha swasta, misal: hotel, distribusi/keagenan, dan sektor usaha yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat (monopoli oleh BUMD).
Jika BUMD melaksanakan PUBLIC SERVICE OBLIGATION (PSO)/kepentingan publik, maka pelaksanaanya berdasarkan kontrak kerja dan dananya diajukan oleh BUMD kepada pemerintah daerah untuk dibayar.
Bagaimana format pengelolaan BUMD? Menurutnya, tetap dibawah Departemen Dalam Negeri, atau Membentuk HOLDING BUMD seperti pola Temasek Singapura.
Sebagai pertimbangan, jika dibawah Kementerian BUMN, yang ditakuti adalah terkontaminasi budaya BUMN yang mis-manajemen dan birokratis. Fakta menunjukkan sebagian besar BUMN (dari jumlah saat ini 139 buah), tidak lebih dari 10% BUMN yang meraup laba, selebihnya merugi/menjadi beban pemerintah

0 komentar: