Senin, 16 Mei 2011

Masih Terjadi Information Asymmetry dalam Pengelolaan Aset Negara

Haryono Umar (Wakil Ketua KPK)
Ketidakjelasan dalam pengelolaan aset negara menyebabkan apa yang disebut denganinformation asymmetry atau kesenjangan informasi. Kondisi ini mengakibatkan para Menteri, terutama Menteri Keuangan selaku pengelola barang milik negara, atau Pimpinan Lembaga tidak mengetahui jumlah, lokasi, dan status asetnya.
Hal tersebut mengakibatkan dua hal yaitu timbulnya adverse selection problem atau pengambilan keputusan yang tidak optimal dan moral hazard atau perlakuan yang menyimpang. Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan, Haryono Umar.
Adverse selection problem atau pengambilan keputusan yang tidak optimal terjadi karena Menteri/Pimpinan Lembaga menerima informasi yang tidak akurat mengenai aset yang berada dalam penguasaanya. Hal ini menimbulkan proses pengambilan keputusan menjadi tidak tepat. Ketidakakuratan informasi tersebut bisa bersumber dari bottom level management di mana informasi yang diberikan kepada top level management tidak benar. Informasi yang tidak benar itu dapat menyangkut jenis, jumlah, dan status aset.
Akibat negatif lainnya dari kesenjangan informasi, kata Haryono, adalah terjadinya moral hazardatau perlakuan yang menyimpang. Peristiwa yang kerap muncul adalah keinginan menguasai aset negara untuk dijadikan milik pribadi. “Informasi atas aset yang dimiliki dibuat tidak benar dengan cara merekayasa informasi,” ungkap Haryono. Ia menyatakan, aset yang tidak tercatat atau tercatat tetapi status dan kondisinya dilaporkan tidak benar, akan membuka peluang oknum-oknum tertentu untuk mengambil alih aset tersebut. Kondisi ini bisa lebih parah jika pimpinan tidak mengambil langkah-langkah strategis dan tepat dalam pengamanan aset. Lebih ironis lagi jika oknum pimpinan ikut terlibat di dalamnya. “Penurunan status golongan rumah jabatan ataupun rumah dinas tanpa pertimbangan yang matang dengan tujuan untuk dimiliki secara pribadi adalah salah satu contoh keterlibatan pimpinan dalam penyalahgunaan aset,” tutur Haryono.
Persoalan aset negara termasuk salah satu permasalahan bangsa yang serius dan perlu segera ditangani. Meskipun negara ini sudah berdiri hampir enam puluh empat tahun lamanya, namun pengelolaan aset negara masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ tersendiri bagi pemerintah. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan pengelolaan aset negara, pemerintah pun melakukan berbagai upaya penertiban.
Tahun 2006, pemerintah menggulirkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Kemudian, dibentuk Tim Penertiban Barang Milik Negara (TPBMN) dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2007. Tim ini antara lain bertugas merumuskan kebijakan dan strategi percepatan inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi seluruh barang milik negara di kementerian/lembaga. Keppres tersebut juga mengamanatkan kepada TPBMN yang diketuai oleh Menteri Keuangan untuk menyelesaikan identifikasi dan pengamanan barang milik negara hingga akhir 2008 lalu. Namun, upaya tersebut sepertinya menemui kendala sehingga terkesan tidak kunjung selesai.
Untuk itu, KPK dari segi pencegahan berupaya untuk membantu pemerintah melakukan penertiban aset negara. “Untuk mengelola aset negara yang penting kita harus terbuka dan transparan. Begitu ada permasalahan jangan pernah bermimpi untuk menyelesaikannya sendiri, perlu kerja sama dengan yang lain. Untuk itu KPK bersedia membantu,” ungkap Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono Umar ketika ditemui Warta Pengawasan di ruang kerjanya.
Jika dicermati, penyalahgunaan aset milik negara terjadi hampir di setiap instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dengan pelaku yang beragam mulai dari pegawai dan pejabat yang masih aktif hingga non aktif bahkan sampai sekelas menteri. Apabila diamati, kejadian ini telah berlangsung selama puluhan tahun bahkan bisa dikatakan sejak zaman Indonesia merdeka. Jenis penyalahgunaannya pun beragam mulai dari dimiliki untuk kepentingan pribadi, disewakan ke pihak ketiga secara ilegal, bahkan ada yang dijual.
Menanggapi maraknya permasalahan dalam pengelolaan aset negara tersebut, pria kelahiran Prabumulih Sumatera Selatan ini menyatakan, untuk melakukan penertiban aset negara, harus mengetahui dahulu jenis-jenis penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan dalam pengelolaan aset negara, kata Haryono, dapat ditinjau dari dua hal, yakni segi administrasi dan politis.
“Dari sisi administrasi, penyalahgunaan aset negara terjadi karena ketidaktertiban kita mulai dari proses pencatatan, pembiayaan, dan pelaporan sehingga tidak dapat diketahui track record aset tersebut,” ujar mantan Kepala Biro Perencanaan BPKP itu. Menurutnya, proses pencatatan merupakan titik krusial dalam pengelolaan aset karena sumber informasi ada dalam pencatatan. Kelemahan yang sering terjadi adalah aset tidak dicatat di buku inventaris atau tercatat di buku inventaris tetapi tidak pernah di-update mengenai keberadaan, kondisi, dan lokasi aset tersebut.
Selain itu, secara akuntansi belum dilakukan pencatatan aset sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), di antaranya saat pembelian tidak dibukukan dalam buku besar dan buku pembantu serta tidak dilakukan penyusutan. Haryono menambahkan, dari segi pembiayaan, kadangkala aset yang tercatat tidak diketahui sumber dananya, baik yang didanai dari APBN/APBD, hibah, sumbangan, maupun sitaan, dan sebagainya. “Dengan tidak tercatatnya aset, baik dalam buku inventaris maupun secara akuntansi serta tidak jelas dalam segi pembiayaannya, mengakibatkan pelaporan aset dalam neraca tidak akurat,” ungkap Haryono.
Ditinjau dari segi politis, Doktor Bidang Ilmu Ekonomi Akuntansi itu menyatakan, adanya ketidaktertiban dan ketidakjelasan pengelolaan aset, akan memunculkan upaya-upaya dari pihak tertentu untuk menyalahgunakan aset. Penyalahgunaan bisa dilakukan oleh pegawai dan pejabat yang masih aktif hingga non aktif.
“Modus yang sering terjadi adalah pengalihan status aset dari milik negara menjadi pribadi. Untuk rumah dinas misalnya, pengalihan status dilakukan dengan menurunkan statusnya dari golongan II menjadi golongan III sehingga dapat dimiliki secara pribadi,” katanya. Ia mencontohkan, ada seorang menteri yang berupaya mengubah status rumah jabatannya dari milik negara menjadi pribadi, bahkan ada suatu universitas yang berisi kalangan pendidik mengubah status rumah dinasnya untuk dimiliki pribadi.
Dengan banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan barang milik negara maka langkah penertiban mutlak perlu dilakukan. “Salah satu langkah penting adalah dengan menertibkan aturan-aturan intern yang mengatur tentang pengelolaan aset di masing-masing kementerian/lembaga,” ujar Haryono.
Ia menambahkan, tidak sedikit aturan intern yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Aturan-aturan tersebut dikeluarkan oleh Pimpinan/Pejabat di kementerian/lembaga bisa karena unsur kesengajaan atau memang benar-benar tidak tahu. Meskipun tidak benar, aturan intern tersebut dapat dijadikan alasan pembenaran bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai aset negara.
Misalnya saja, kata Haryono, adanya aturan intern atau keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga yang memindahtangankan aset milik negara menjadi milik yayasan tanpa persetujuan Presiden/DPR akan membuat yayasan tersebut tetap mempertahankan aset tersebut meskipun telah dilakukan penertiban. Sementara, contoh yang baik datang dari Departemen Pendidikan Nasional yang baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.76/2008 yang mengatur tentang Pengelolaan Rumah Negara di Lingkungan Depdiknas. Permendiknas ini telah dipakai di berbagai Perguruan Tinggi Negeri sebagai dasar dalam melakukan penertiban rumah dinas.
Terkait dengan penertiban aset negara, Haryono menjelaskan, KPK berniat membantu Pemerintah dan BUMN untuk melakukan penertiban aset negara yang berada dalam penguasaannya. Langkah yang diambil KPK ini masih dalam koridor pencegahan dan hanya bertindak sebagai trigger atau pendorong bagi pemerintah dan BUMN.
“Kewajiban penertiban aset tetap berada di masing-masing instansi pemerintah dan BUMN. KPK bersedia membantu apabila dalam penertiban aset tersebut ditemui kendala,” ungkap Haryono. Ia memisalkan, tanah yang dikuasai instansi atau BUMN berstatus sengketa dengan pihak ketiga. Dalam kondisi tersebut, menurut Haryono, KPK berupaya semaksimal mungkin agar aset-aset milik negara yang bermasalah atau pun disalahgunakan bisa dikembalikan lagi ke negara. Haryono mengungkapkan, instansinya telah berhasil menyelamatkan dan mengembalikan aset ke negara bernilai sekitar Rp250 miliar. “Ke depan, hal ini akan lebih diintensifkan lagi untuk aset berupa tanah dan bangunan milik negara yang masih dikuasai oleh yayasan,” tegas Haryono.
Sejalan dengan tugas KPK menertibkan aset, pemerintah juga membentuk Tim Penertiban Barang Milik Negara (TPBMN) yang diangkat melalui Keppres No.17/2007. Tim yang dikomandoi Menteri Keuangan dengan beranggotakan tujuh Pimpinan Kementerian/Lembaga tersebut bertugas melaksanakan upaya penertiban aset negara baik secara administratif, yuridis, hingga mengambil langkah hukum. Terkait TPBMN, imbuh Haryono, KPK tidak menyerobot ataupun mengesampingkan tugas tim tersebut. Dalam hal ini KPK tetap bertindak sebagai trigger atas berjalannya TPBMN.
Untuk menjalankan tugasnya, KPK telah berkoordinasi dengan berbagai Kementerian dan BUMN, di antaranya Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, dan PT Kereta Api. Sejauh ini, kata Haryono, Kementerian dan BUMN tersebut cukup kooperatif memberikan data-datanya kepada KPK termasuk aset-aset yang bermasalah. “Jika dijumpai permasalahan dalam pengelolaan asetnya, KPK akan memberikan alternatif solusi penyelesaian terbaiknya,” ungkapnya.
Dengan banyaknya aset negara yang tersebar luas di berbagai lokasi serta terbatasnya tenaga yang dimiliki KPK, Haryono menyadari perlunya dukungan dari instansi yang kompeten untuk menertibkan dan mengamankan aset negara, terutama dukungan dari BPKP. “KPK sangat mengharapkan peran BPKP untuk membantu menata aset negara, misalnya melalui asistensi penatausahaan aset negara ataupun inventarisasi fisik. Dengan kemampuan BPKP, banyak hal bisa dilakukan. Untuk itu, KPK ingin bekerja sama dengan BPKP karena yang memiliki hubungan dengan berbagai instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dan BUMN serta mempunyai jajaran di seluruh Indonesia adalah BPKP,” ujar Haryono. Haryono juga meminta agar dalam waktu dekat ini dapat dilakukan MoU atau kerja sama pengamanan dan penertiban aset negara antara KPK dan BPKP.

0 komentar: