“…Untuk memberikan jaminan yang memadai bahwa pelaporan aset negara telah dilakukan dengan baik, perlu dibangun sebuah sistem pengendalian intern (SPI) atas hal tersebut…”
Belum lama Ketua BPK RI, Anwar Nasution menyampaikan bahwa perkembangan opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2004 hingga 2007 menunjukkan kualitas yang semakin memburuk. Hasil Pemeriksaan BPK-RI Semester II Tahun 2008 terhadap 191 LKPD, 72 LKPD mendapat opini disclaimer, 8 LKPD mendapat opini Tidak Wajar, 110 LKPD mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian, dan hanya 1 LKPD yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian, yaitu Kabupaten Aceh Tengah.
Sementara itu Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebanyak 34 Kementerian/Lembaga, opini wajar dengan pengecualian (WDP) sejumlah 30 Kementerian/Lembaga (K/L) dan opini disclaimer sebanyak 18 K/L.
Permasalahan yang dijadikan catatan oleh BPK-RI, masih didominasi oleh masalah aset negara. Hal ini sudah menjadi momok seluruh pengelola keuangan negara karena rumitnya permasalahan yang dihadapi. Bagaikan mengurai benang kusut, semua pihak mengerutkan kening secara mendalam untuk memecahkan masalah ini.
Pelaporan aset negara merupakan bagian dari penatausahaan aset negara yang wajib ditegakkan oleh setiap penyelenggara pemerintahan. UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara mengatur setiap Kepala Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBN/APBD, dimana salah satunya adalah menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Daerah. Lebih lanjut, PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, juga mengatur setiap Pengelola Barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah yang digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca Pemerintah Pusat/Daerah. Peraturan-peraturan ini masih diikuti ketentuan lain yang pada intinya mewajibkan kepada seluruh penyelenggaran pemerintahan untuk melakukan pelaporan aset negara secara transparan dan akuntabel.
Untuk memberikan jaminan yang memadai bahwa pelaporan aset negara telah dilakukan dengan baik, perlu dibangun sebuah sistem pengendalian intern (SPI) atas hal tersebut. SPI atas pelaporan aset negara dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang dapat dijadikan dasar bagi auditor eksternal (BPK-RI) dalam pemberian catatan yang tidak diharapkan pada hasil auditnya. Yang utama, dengan SPI yang andal, aset negara dapat terjaga keamanan dan keberadaannya.
Risiko Pelaporan Aset Negara
Tujuan umum sebuah audit atas pelaporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat apakah laporan keuangan yang disajikan auditee adalah wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (baca : Standar Akuntansi Pemerintah). Dengan demikian, tujuan instansi pemerintah dalam menyusun Laproan Keuangan adalah tersusunnya laporan keuangan yang wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Kewajaran sebuah pelaporan keuangan sangat ditentukan oleh integritas berbagai asersi manajemen yang terkandung pada laporan keuangan. Asersi sebuah laporan keuangan meliputi 5 hal, yaitu:
- Keberadaan dan keterjadian, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah aset/kewajiban yang tercantum pada laporan keuangan, benar-benar ada pada tanggal laporan keuangan tersebut.
- Kelengkapan, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah semua aset/kewajiban/transaksi yang terjadi telah disajikan atau dicatat pada laporan keuangan.
- Hak dan Kewajiban, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah aset benar-benar merupakan hak auditee/instansi dan apakah utang merupakan kewajiban auditee/instansi.
- Penilaian, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah aset/kewajiban/transaksi telah disajikan dengan jumlah (nilai) yang semestinya.
- Penyajian, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen aset/kewajiban/pendapatan/biaya telah diklasifikasikan, dijelaskan dan diungkapkan sebagaimana mestinya.
Dengan dasar penilaian kewajaran tersebut, maka terdapat beberapa risiko yang dapat diidentifikasikan dalam pelaporan aset negara yaitu:
1. Adanya aset yang tidak berfungsi, atau bahkan tidak ada, namun masih disajikan pada laporan keuangan. Risiko ini sering terjadi pada awal penerapan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) oleh Pemerintah Pusat/Daerah. Kondisi aset negara yang rusak dan tidak dapat dimanfaatkan membutuhkan prosedur birokrasi yang cukup rumit untuk dapat dihapus dari laporan keuangan sehingga banyak aset yang tercatat namun sesungguhnya tidak memberi konstribusi apapun pada organisasi. Kondisi ini mengakibatkan laporan aset negara terlalu tinggi nilainya (overstate)
2. Adanya aset negara yang tidak masuk dalam laporan keuangan. Risiko ini juga kerap terjadi pada saat awal penyusunan laporan keuangan. Banyaknya aset negara yang tersebar seantero penjuru negeri, dari kota hingga desa terpencil, membuat aparat pemerintah mengalami kesulitan dalam melakukan inventarisasi aset. Besarnya volume dan lokasi geografis aset negara membuat banyak aset negara yang tidak tercatat. Hal ini mengakibatkan laporan aset negara dinilai terlalu rendah (understate).
Risiko lain adalah tidak selarasnya nilai dan data aset negara pada laporan keuangan dengan laporan barang milik negara/daerah. Hal ini pada umumnya karena belum terintegrasinya sistem informasi akuntansi keuangan dengan sistem informasi manajemen aset.
3. Aset negara sudah dalam penguasaaan namun tidak didukung bukti kepemilikan yang kuat dan sah. Risiko ini masih sering terjadi pada instansi pemerintah saat ini. Yang paling dominan adalah terkait dengan kepemilikan aset tanah yang belum didukung bukti sertifikat kepemilikan yang kuat. Risiko ini sering dihadapi oleh instansi pemerintah yang mengalami pemekaran wilayah (pada pemerintah daerah) atau perubahan struktur pemerintahan, dimana ada peleburan atau pemisahan instansi pemerintah. Pada kondisi ini, proses serah terima aset membutuhkan inventarisasi dan berita acara yang dapat dijadikan dasar bagi penguasaan aset negara.
4. Aset negara sulit atau tidak dapat diukur nilainya. Risiko ini juga masih sering terjadi hingga saat ini. Beberapa kondisi tersebut antara lain:
- Penilaian aset negara tertentu pada saat penyusunan neraca awal, dimana nilai perolehan atau nilai wajar sulit diketahui, antara lain inventaris kantor, kendaraan militer atau peralatan perang, tanaman perkebunan yang tidak masuk kategori sumber daya alam yang dapat diperbaharui, peralatan laboratorium, dan bahan pustaka.
- Penilaian atas aset negara yang diperoleh dari hibah, atau aset daerah yang diperoleh dari Pemerintah Pusat.
- Adanya ketentuan tentang revaluasi aset dalam jangka waktu lima tahun sekali, memberi beban tersendiri bagi instansi pelapor. Jika menggunakan tenaga ahli penilai (appraisal) akan membutuhkan biaya yang besar, sedangkan jika menggunakan tim penilai akan memiliki tingkat penerimaan yang rendah.
5. Kesalahan klasifikasi aset. Risiko ini umumnya timbul karena kurang kapabelnya Sumber Daya Manusia pada instansi bersangkutan, atau adanya kelemahan sistem informasi pada sistem berbasis komputer. Kesalahan posting, perhitungan, pembebanan atau klasifikasi dapat terjadi jika manusia yang menyusun laporan lalai atau tidak paham. Hal ini mengakibatkan nilai aset pada laporan keuangan tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya.
Aktivitas Pengendalian Pelaporan Aset Negara
Telah disebutkan sebelumnya bahwa aktivitas pengendalian merupakan kebijakan dan prosedur yang dapat membantu manajemen untuk mengurangi risiko yang telah diidentifikasikan. Pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan untuk mewujudkan aktivitas pengendalian yang memadai dalam pelaporan aset negara/daerah. Ketentuan yang telah terbit, meliputi:
- PP No.24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
- PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
- Peraturan Menteri Keuangan No.59/2005 tentang Standar Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
- Permendagri No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah diperbaharui dengan Permendagri No.59/2007.
- Permendagri No. 17/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Daerah.
Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan acuan dalam mengelola aset negara/daerah. Tidak hanya dalam hal pelaporan, namun juga penatausahaan aset negara. Namun demikian, ketentuan tersebut belumlah cukup untuk membangun sistem yang mampu mencegah timbulnya risiko-risiko tersebut di atas. Setiap instansi perlu melengkapinya dengan beberapa kebijakan dan prosedur lainnya.
Hal yang dapat dilakukan untuk mendorong tercapainya tujuan pelaporan aset negara antara lain:
- Setiap pimpinan Kementerian/Lembaga Negara/Pemerintah Daerah menerbitkan peraturan/kebijakan yang lebih teknis, berupa Peraturan Menteri atau Peraturan Kepala Daerah. Peraturan ini mengatur lebih rinci tentang penyusunan Laporan Keuangan sesuai dengan kondisi dan karakteristik instansi masing-masing, antara lain peraturan tentang kebijakan akuntansi.
- Tersedianya aparat yang memahami ilmu akuntansi secara memadai. Proses penyusunan Laporan Keuangan cukup rumit sehingga sulit dilakukan oleh aparat yang tidak memahami hal tersebut.
- Membangun sistem informasi berbasis komputer yang terintegrasi dan dinamis sesuai perkembangan peraturan di bidang keuangan negara.
- Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan berbagai instansi terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional terkait aset tanah negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan dalam hal penilaian aset, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dalam hal pengembangan sistem dan peningkatan kapabilitas aparatur.
Sumber: BPKP.
0 komentar:
Posting Komentar