Jumat, 08 Juli 2011

Agus Suprijanto Minta Temuan Berulang BPK Menjadi Perhatian

undefined

Liputan Rapat Pembahasan Perkembangan dan Penyempurnaan MPN
Jakarta – perbendaharaan.go.id - Perkembangan Modul Penerimaan Negara (MPN) menujukan kondisi yang semakin membaik. Data transaksi yang mengalami proses Reversal karena berbagai alasan telah menurun dengan drastis. Demikian juga dengan data yang tidak diakui semakin kecil dan berkurang drastis.Hal tersebut disampaikan Dirjen Perbendaharaan Agus Suprijanto dalam Rapat Pembahasan Perkembangan dan Penyempurnaan MPN, Senin (27/6), di Gedung Prijadi Praptosuharjo II, Jakarta.

Namun demikian, temuan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2010 menunjukkan transaksi Penerimaan Negara yang direversal meningkatkan ketidakpercayaan BPK dari tahun sebelumnya, meskipun prosentasenya menurun dari tahun sebelumnya.

Sebagaimana tahun sebelumnya, pada LKPP 2010 pun masih terdapat  penerimaan yang di-reversal. Hal itu merupakan potensi tidak didapatnya opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) pada tahun ini. Untuk itu Agus meminta temuan BPK atas LKPP yang berulang pada setiap tahunnya agar menjadi perhatian.

Bank PersepsiBPK menemukan adanya transaksi reversal yang tidak ada transaksi penggantinya. BPK juga menemukan adanya transaksi reversal yang ada transaksi penggantinya namun berbeda jumlah setor, beda NPWP, dan beda tanggal bukunya. 

Hasil Pemeriksaan BPK menunjukan bahwa Bank/Pos Persepsi belum sepenuhnya memenuhi ketentuan yang tercantum dalam perjanjian dengan Kementerian Keuangan. Ketentuan yang belum terpenuhi terutama terkait pelaporan transaksi reversal, data tidak diakui, dan transaksi tidak sama dengan data yang dilaporkan ke KPPN.

Langkah-langkah perbaikan telah disiapkan oleh Kementerian Keuangan. Diantaranya adalah Penggunaan billing system dalam proses penerimaan negara, saat ini  sedang dalam persiapan akhir untuk diujicobakan dalam waktu dekat. Kementerian Keuangan mengharapkan kerjasama Direksi Bank/Pos agar penatausahaan penerimaan negara dapat berjalan dengan baik sehingga LKPP mendapat opini WTP.

undefined: undefined »

SPAN for STAN


Jakarta, perbendaharaan.go.id - Direktorat Transformasi Perbendaharaan sosialisasikan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) kepada para mahasisiwa STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) jurusan Kebendaharaan Negara, Kamis (16/6), di Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan, Jakarata.

Kegiatan tersebut dilakukan Ditjen Perbendaharaan sebagai upaya pengenalan SPAN kepada para calon pegawai Ditjen Perbendaharaan masa depan. Para mahasiswa STAN mendapat penjelasan mengenai tahapan perubahan sistem yang saat ini tengah berjalan, proses transisi, hingga sampai pada pelaksanaan SPAN.

Dalam pengantarnya, Kasubdit Transformasi Proses Bisinis Internal Saiful Islam menyampaikan bahwa saat ini merupakan momen yang pas bagi mahasiswa STAN  untuk mengenal SPAN. “Mudah-mudahan ini menjadi daya pikat, sebelum anda bergabung bersama Ditjen Perbendaharaan,” ujar Saiful dihadapan para Mahasiswa STAN yang notabene akan menjadi pegawai Ditjen Perbendaharaan di masa akan datang.
SPAN untuk STANMateri SPAN disampaikan secara bergiliran oleh Kepala Seksi Transformasi Proses Bisnis External C Dody Dharma Hutabarat, perwakilan Subdit Transformasi Sistem Aplikasi Isnain Fikriansyah, perwakilan Subdit Transformasi Proses Bisnis Internal dan Organisasi. Mereka menyampaikan proses transformasi proses bisnis dan teknologi informasi secara menyeluruh.

Dengan langkah tersebut, Ditjen Perbendaharaan berharap mahasiswa STAN mendapat gambaran menyeluruh mengenai SPAN. Pada saatnya kelak, mereka akan menjadi bagian dari pelaksanaan SPAN itu sendiri.

undefined: undefined »

LKPP 2010 : WDP



undefined

Jakarta, perbendaharaan.go.id - BPK RI memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinionatas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2010. Ketua BPK, Hadi Poernomo menyampaikan hal tersebut saat menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas LKPP tahun 2010 kepada Presiden RI di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (1/6).

BPK RI memberikan penghargaan kepada Pemerintah yang telah banyak mengikuti rekomendasi BPK RI sehingga opini pada kementerian negara/lembaga (KL) banyak mengalami peningkatan. ”Jumlah Kementerian/Lembaga (KL) yang memperoleh opini WTP dari BPK telah meningkat dengan pesat, dari 35 pada tahun 2008, menjadi 45 pada tahun 2009, dan tahun 2010 sebanyak 53 KL dari 84 KL,” ujar Hadi.

Laporan hasil pemeriksaan atas LKPP tersebut terdiri dari LHP atas Laporan Keuangan, LHP Sistem Pengendalian Intern, LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan, Laporan Pemantauan Tindak Lanjut, dan Laporan Tambahan berupa Laporan Transparansi Fiskal. Objek pemeriksaan BPK adalah LKPP Tahun 2010 yang terdiri dari Neraca Pemerintah Pusat per 31 Desember 2010 dan 2009, Laporan Realisasi APBN (LRA) dan Laporan Arus Kas untuk Tahun 2010, serta Catatan atas Laporan Keuangan.

LKPP Tahun 2010 mendapat opini WDP dengan empat permasalahan. Pertama, adanya permasalahan penagihan, pengakuan dan pencatatan penerimaan perpajakan yaitu (1) Pengakuan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar Rp11,28 triliun tidak sesuai dengan undang-undang PPN; (2) penagihan PBB Migas sebesar Rp19,30 triliun tidak menggunakan surat tagihan yang diatur dalam UU PBB dan pengakuannya tidak menggunakan data dasar pengenaan pajak yang valid; (3) transaksi pembatalan penerimaan (reversal) senilai Rp3,39 triliun tidak dapat ditelusuri ke data pengganti.Kedua, pencatatan Uang Muka Bendahara Umum Negara (BUN) tidak memadai, yaitu (1) saldo Uang Muka dari rekening BUN yang disajikan pada Neraca sebesar Rp1,88 triliun tidak didukung rincian; (2) nilai dana talangan dan penggantian Tahun 2009 s.d. 2010 masing-masing sebesar Rp1,14 triliun dan Rp1,43 triliun yang tidak dapat diidentifikasi; dan (3) nilai pengajuan penggantian lebih kecil sebesar Rp 2,91 triliun dibandingkan reimbursement-nya. Ketiga, adanya permasalahan dalam pengendalian atas pencatatan Piutang Pajak yaitu (1) penambahan piutang menurut data aplikasi piutang berbeda sebesar Rp2,51 triliun dengan dokumen sumbernya yaitu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Tagihan Pajak (STP); dan (2) pengurangan piutang PBB berbeda sebesar Rp1,03 triliun dengan penerimaannya. Keempat, terdapat permasalahan dalam pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian (IP) Aset tetap yaitu (1) nilai koreksi hasil IP berbeda dengan hasil koreksi pada SIMAK BMN sebesar Rp12,95 triliun; (2) Aset tetap dengan nilai perolehan sebesar Rp5,34 triliun pada tujuh KL belum dilakukan IP; (3) hasil IP pada empat KL senilai Rp56,42 triliun belum dibukukan; dan (4) Pemerintah sampai saat ini belum dapat mengukur manfaat untuk setiap Aset Tetap sehingga pemerintah belum dapat melakukan penyusutan terhadap Aset Tetap.

BPK RI juga menemukan permasalahan terkait kelemahan sistem pengendalian intern, antara lain: (1) pelaksanaan monitoring dan penagihan atas kewajiban PPh Migas tidak optimal; (2) inkonsistensi penggunaan tarif pajak dalam perhitungan PPh Migas dan perhitungan bagi hasil migas; (3) penerimaan hibah langsung oleh KL masih dikelola diluar mekanisme APBN; (4) Aset Tetap yang dilaporkan dalam LKPP belum seluruhnya dilakukan IP, masih berbeda dengan laporan hasil IP, dan belum selaras dengan pencatatan pengguna barang; (5) pengendalian atas pelaksanaan IP Aset KKKS dan Aset Eks BPPN belum memadai; dan (6) Anggaran Belanja minimal sebesar Rp4,70 triliun digunakan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan klasifikasinya (peruntukannya).

Permasalahan lain terkait ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain adalah: (1) penagihan PBB Migas sebesar Rp19,30 triliun tidak sesuai UU PBB dan penetapannya tidak menggunakan data yang valid; (2) penyelesaian PPN DTP sebesar Rp11,28 triliun tidak menggunakan mekanisme sesuai UU PPN; (3) PNBP pada 41 KL minimal sebesar Rp368,97 miliar belum dan/atau terlambat disetor ke Kas Negara dan sebesar Rp213,75 miliar digunakan langsung di luar mekanisme APBN; (4) pengalokasian dana penyesuaian tidak berdasarkan kriteria dan aturan yang jelas; dan (5) realisasi Belanja Barang di 44 KL sebesar Rp110,48 miliar dan USD63.45 ribu tidak dilaksanakan kegiatannya, dibayar ganda, tidak sesuai dan tidak didukung bukti pertanggungjawaban.

Pemantauan tindak lanjut atas hasil pemeriksaan mengungkapkan 35 temuan yang belum selesai ditindaklanjuti, terdapat 8 temuan yang sudah ditindaklanjuti sesuai saran BPK RI, dan 27 temuan sedang dalam proses tindaklanjut. Permasalahan yang sudah ditindaklanjuti diantaranya adalah (1) penyelarasan pencatatan pembiayaan dari penarikan utang luar negeri dengan dokumen sumber; (2) pengakuan kewajiban pemerintah atas program Tunjangan Hari Tua (THT); (3) penetapan kebijakan akuntansi selisih kurs dan pencatatan Aset KKKS.

Sementara itu permasalahan yang masih dalam proses tindak lanjut antara lain: (1) Penyempurnaan aplikasi penerimaan perpajakan; (2) Penyempurnaan mekanisme pelaporan hibah langsung kepada KL; (3) Penertiban pengelompokkan dalam penganggaran; (4) Perbaikan metode dan pencatatan hasil IP; dan (5) Perbaikan pencatatan Saldo Anggaran Lebih (SAL).

Opini atas LKKL yang merupakan bagian dari LKPP menunjukkan kemajuan yang signifikan. Jumlah Kementerian Lembaga (KL) yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI telah meningkat dengan pesat, dari 35 pada tahun 2008, menjadi 45 pada tahun 2009, dan tahun 2010 sebanyak 53 KL. Opini atas LKPP dan LKKL tersebut diberikan BPK terhadap kewajaran laporan keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

BPK RI berharap agar hasil pemeriksaan LKPP Tahun 2010 dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa tindak lanjut hasil pemeriksaan diberitahukan secara tertulis oleh Presiden kepada BPK RI. Selanjutnya, sesuai Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, jawaban atau penjelasan mengenai tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK RI disampaikan kepada BPK RI selambat-lambatnya 60 hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima

Semakin fokus mencapai tujuan strategis dengan balanced scorecard




Liputan workshop Cascading Balanced Scorecard Kemenkeu-Four dan Kemenkeu-Five
Jakarta, perbendaharaan.go.id. “Seiring dengan Program Reformasi Birokrasi, salah satu kebijakan yang dilaksanakan dalam upaya meningkatkan kinerja adalah penggunaan sistem manajemen kinerja berbasis balanced scorecard atau BSc.BSc sebagai alat manajemen kinerja, pada praktiknya akan menerjemahkan visi dan misi organisasi pada suatu yang terukur secara objektif dan realistis untuk dicapai. Sehingga, penerapan BSc pada dasarnya akan mempermudah suatu organisasi dalam mencapai tujuan strategisnya. Dengan diterapkannya manajemen kinerja berbasis BSc, Ditjen Perbendaharaan diharapkan semakin fokus dalam mencapai tujuan strategis yang telah ditetapkannya.” Demikian disampaikan oleh Kepala Bagian Administrasi Kepegawaian Ludiro ketika memberikan pengarahannya mewakili Sekretaris Ditjen Perbendaharaan dalam acara pembukaan Workshop Cascading Balanced Scorecard Kemenkeu-Four dan Kemenkeu-Five di Jakarta (23/5/2011).

Pada kesempatan terpisah Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana Didyk Choiroel menegaskan adanya urgensi untuk segera mengimplementasikan BSc sampai dengan level Kemenkeu-Four dan Kemenkeu-Five. “Target awalnya memang baru sebatas mengetahui dan menyusun metodologinya, serta menetapkannya dalam koundefinedntrak kinerja Kemenkeu-Four dan Kemenkeu-Five. Target berikutnya baru mengenai tata kelolanya dan keterkaitannya dengan Kemenkeu-One, Kemenkeu-Two, dan Kemenkeu-Three. Bagaimana mendudukkan ada di mana fungsi kita dan menggambarkan betapa strategisnya substansi pekerjaan kita dalam peta organisasi eselon I dan II. Penyusunan Kemenkeu-Fourdan Kemenkeu-Five menjadi sebuah keharusan agar tercipta sinergi antara fokus kinerja yang ingin dicapai pimpinan organisasi dengan pekerjaan yang dilaksanakan oleh unit dibawahnya,”ungkapnya.

“Hal yang krusial dalam penyusunan IKU (Indikator Kinerja Utama- red.) adalah mendiagnosis kembali apakah pekerjaan yang kita lakukan penting buat organisasi atau hanya penting untuk kita. Pencapaian visi dan misi Kemenkeu harus tercermin melalui pencapaian IKU. Bila pekerjaan tidak ada hubungannya dengan IKU berarti pekerjaan itu penting bagi kita tetapi tidak penting bagi Kemenkeu,” terangnya.

Workshop diadakan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang memadai kepada pegawai Ditjen Perbendaharaan tentang konsep BSc. Untuk itu, perlu dilakukan internalisasi  konsep BSc pada seluruh pegawai dan pejabat Ditjen Perbendaharaan, khususnya para pejabat eselon IV yang akan dibebankan tanggung jawab untuk menyusun Kemenkeu-Fourdan Kemenkeu-Five.Penyusunan Kemenkeu-Four dan Kemenkeu-Fivemenjadi keharusan, agar tercipta sinergi antara fokus kinerja yang ingin dicapai pimpinan organisasi dengan kinerja yang dilaksanakan oleh unit dibawahnya.

Workshop diselenggarakan bekerjasama dengan Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan (Pushaka), dalam hal penyediaan materi dan narasumber. Adapun pesertanya terdiri dari pertama,peserta dari Kantor Pusat, yaitu manajer kinerja, administrator pengelola IKU, pejabat eselon IV yang ditunjuk; kedua,peserta dari kantor wilayah, yakni manajer kinerja (kabag umum), administrator  pengelola  IKU,  petugas operator yang ditunjuk; ketiga, peserta dari KPPN, antara lain: kasubbag umum dan pelaksana yang ditunjuk sebagai operator.

Sebelumnya Kasubbag Evaluasi Hasil Pemeriksaan dan Kinerja Arif Kurniadi dalam laporannya menjelaskan bahwa workshop tersebut diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk mempercepat penyusunan Kemenkeu-Four dan Kemenkeu-Five pada tahun 2011. “Acara workshop ini dilaksanakan di tujuh lokasi, yaitu Medan, Balikpapan,Makassar, Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Denpasar. Untuk di Jakarta dilaksanakan dalam dua tahap: tahap pertama pada tanggal 23 sampai dengan 25 mei dan tahap kedua berlangsung pada tanggal 26 sampai dengan 27 Mei,” imbuhnya.

undefined: undefined »