Minggu, 15 Mei 2011

Korupsi

Korupsi. Kata ini mungkin paling populer di dunia ini sejak zaman baheula jika kita berbicara tentang kekuasaan, pemerintahan, dan amanah (delegation). Dalam pemahaman sederhana, makna korupsi adalah pencurian yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan terhadap “kekayaan” negara/rakyat.
Korupsi belakangan semakin bersimaharajalela, terutama pasca-otonomi daerah. Orde Reformasi yang diharapkan menjadi masa memperbaiki bangsa dan negara ini ternyata mengalami antiklimaks karena ternyata kesejahteraan rakyat Indonesia tidak semakin membaik. Beberapa indikator yang menunjukkan kita semakin buruk adalah:
  • Harga bahan bakar yang meningkat tajam (indikator bahwa pemerintah tidak bisa menyediakan bahan bakar murah, padahal benda ini merupakan kebutuhan utama bagi rumah tangga operasional usaha masyarakat);
  • Jumlah penduduk miskin yang terus bertumbuh (ndikator bahwa negara tidak bisa mengayomi rakyatnya dengan menyediakan sumber daya yang bermanfaat bagi kehidupan yang layak);
  • Harga diri bangsa Indonesia yang semakin sering dilecehkan oleh negara-negara tetangga, terutama Malaysia (indikator bahwa komunikasi politik, kekuatan angkatan perang, dan kekompakan penguasa-rakyat tdak berjalan dengan baik);
  • Semakin besar jumlah TKI/TKI yang “diekspor” ke luar negeri (indikator bahwa negara ini belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi warga negaranya sendiri);
  • Semakin banyak kasus korupsi, baik dari segi intensitas/frekuensi, maupun dari segi jumlah dana yang disalahgunakan (indikator bahwa sangat jarang pejabat negara/daerah yang bisa mengemban amanah rakyat dengan baik).
Fakta yang disebutkan terakhir merupakan salah satu faktor terpenting mengapa bangsa ini kian terpuruk. Korupsi ternyata terjadi di seluruh lapisan kehidupan birokrasi, politik, dan kemasyarakatan. Motto “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah” dan “kalau bisadi perlama kenapa dipercepat” seakan telah menyatu dalam napas para pelayan publik di negara ini.
Perdebatan
Perdebatan selalu terjadi ketika korupsi ingin didefinisikan secara komprehensif, agar bisa mencakup semua aspek. Hal ini karena korupsi bersifat multidimensi, contingent, dan dengan medan dan modus operandi yang sangat beragam. Namun, satu hal yang disepakati adalah:korupsi sama dengan pengkhianatan!
Ada yang bilang korupsi adalah bagian dari budaya, tapi ditolak dengan argumen korupsi hanyalah kebiasaan belaka. Korupsi adalah perbuatan yang disengaja, tapi dibantah dengan mengatakan korupsi terjadi karena keterpaksaan belaka. Lalu, korupsi itu apa?
Berdasarkan fenomena yang bisa ditemukan di lapangan, korupsi secara masib masuk ke semua ranah kehidupan kita. Korupsi terjadi di semua tempat, waktu, dan kondisi. Beberapa praktik yang sering kita temukan adalah
  • Membayar tarif parkir melebihi yang seharusnya. Di Jogja, tarif parkir umumnya hanya Rp500 untuk sepeda motor. Tapi, jika kita berikan uang pecahan Rp1000, tukang parkir sering tidak memberikan kembaliannya dengan alasan tidak ada pecahan Rp500, atau pura-pura lupa. –> Ternyata tukang parkir saja korupsi!
  • Saat mengurus surat-surat di kelurahan. Meskipun tidak ada tarif yang ditetapakn Pemda, pegawai kelurahan memberi “kode” tertentu bahwa pelayanan yang mereka berikan tidaklah gratis.
  • Seorang pejabat daerah, ketika berkunjung ke suatu tempat sering dilayani dan diberi penghormatan secara berlebihan serta diberi berbagai macam hadiah oleh orang-orang tertentu. Padahal, jika dia bukan seorang pejabat, pelayanan dan hadiah tersebut tidak akan pernah diterimanya.
Fakta di atas dapat dilihat dari dua sisi: aspek regulasi atau sistem dan aspek individu. Ada yang beranggapan bahwa semua ini terjadi karena sistem yang kita pakai salah, atau membuka ruang untuk praktik-praktik korupsi. Sebagaimana buatan manusia lainnya, sebuah sistem memang tidak ada yang sempurna. Selalu dibutuhkan penyempurnaan. Namun, penyempurnaan tidak dapat dilakukan sekaligus dengan mengganti sistem yang telah ada dengan yang baru. Saya lebih setuju dilakukan perubahan secara bertahap (gradual) dengan cara melakukan penyesuaian untuk semua bagian yang dipandang tidak sesuai.
Aspek kedua, yakni aspek individu, berkenaan dengan tabiat, perilaku, etika, dan kecerdasan seorang individu yang bersinggungan langsung dengan “area” yang memiliki potensi untuk melakukan korupsi. Untuk mengurangi risiko individu ini, sistem dirancang untuk bisa menyaring dan menemukan “sosok” yang bersih, memiliki komitmen, dan juga berkompeten. Namun, ternyata tidak seluruhnya efektif…
Korupsi (Hanya) di Pemerintahan?
Praktik korupsi “hanya” ternjadi di pemerintaha. Itulah anggapan nyaris semua orang. Padahal korupsi juga terjadi di perusahaan dan juga di tempat lain. Pada prinsipnya, korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi seseorang.
Beberapa Contoh Kasus
Kasus korupsi di Indonesia sangat beragam dan terjadi di semua level pemerintahan. Pelakunya ada yang mantan menteri, anggota DPR/DPRD, kepala daerah, pejabat negara dan daerah, bahkan pegawai rendahan biasa. Aparat penegak hukum juga tak terlepas dari kasus korupsi ini, sehingga kita melihat ada jaksa, polisi, dan hakim yang juga menjadi terpidana dan divonis penjara karena terlibat kasus korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sesungguhnya superbody dalam upaya pemberantasan korupsi ternyata “diserang” dari semua sisi oleh para elite yang merasa terganggu dengan keberadaannya. DPR-RI dan Kepolisian Republik Indonesia sepertinya sangat terusik dengan sepak terjang KPK ini.

0 komentar: