Minggu, 15 Mei 2011

Menelusuri Belantara Perencanaan dan Penganggaran

Reformasi Sejauh ini
Sejak dicanangkannya kebijakan desentralisasi yang dialamatkan ke level daerah, telah mampu mendorong kebangkitan partisipasi masyarakat sipil. Tak ayal jika asosiasi sipil makin marak tumbuh di aras lokal. Upaya mereka, umumnya, berkehendak memajukan peran masyarakat di setiap pengambilan kebijakan, baik itu menyangkut perencanaan pembangunan, penganggaran daerah, sampai dengan pelayanan hak-hak sosial dasar.[1]
Banyak cara telah ditempuh. Selain memanfaatkan jalur formal kebijakan, biasanya gerak dinamik lokal diisi juga memilih strategi advokasi melalui pengorganisasian warga, mengangkat isu-isu populis.[2] Pilihan advokasi dilakukan dalam tiga model: (1) pendekatan diplomasi; (2) pengembangan wacana kritis; sampai dengan (3) mengorganisasian masyarakat.
Dalam rentang perubahan pada babak awal reformasi, pilihan pengorganisasian masyarakat sering ditempuh oleh para aktivis, sebagai bagian dari episode merintis fondasi dan membangun tembok bagi demokrasi lokal, yang telah lama menjadi harapan sejak reformasi dideklarasikan.
Sementara berkenaan dengan peran pemerintah daerah, sejumlah perubahan juga patut disyukuri. Merujuk bermacam riset mengenai local governance reform, telah memberikan informasi-informasi positif. Sekurang-kurangnya pada aras formal kelembagaan, juga regulasi, telah banyak inisiatif-inisiatif awal oleh pemerintah yang makin tumbuh.
Hal itu dapat digolongkan sebagai respon atas tuntutan perubahan yang dikawal para CSO (civil society organisation), maupun sebentuk political will yang lahir dari teknokratisasi pemimpin daerah. Dapat disebutkan misalnya: terbentuknya peraturan-peraturan daerah (Perda) berkaitan dengan partisipasi sipil dalam kebijakan publik, pembaharuan tata kelola perijinan dan pelayanan masyarakat, transparansi dan partisipasi dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran, serta yang paling aktual adalah inisiatif perubahan anggaran yang berpihak pada kaum miskin atau yang dikenal dengan reformasi social policy (pendidikan dan kesehatan).[3]
Meskipun pada aras masyarakat sipil dan negara telah dicapai kemajuan positif, banyak catatan penting diseputar kendala tak bisa dielakkan. Perubahan yang berlangsung sejauh ini, tidak berarti secara otomatis berujung pada implementasi yang konsisten sesuai koridor normatif. Perubahan tata kelembagaan yang berlangsung secara radikal, khususnya di bidang politik formal, dibarengi sejumlah bukti keadaan sosial ekonomi masyarakat yang menunjukkan fakta berlawanan. Jerit keluh warga terkait problem-problem sosial ekonomi, masih terus terdengar. Bahkan makin keras. Demokrasi politik belum membuahkan kesejahteraan.
Secara makro dapat dijelaskan, bahwa selama satu dasa warsa reformasi berlangsung, telah dua kali terselenggara pemilu. Kelangsungannya yang membawa rotasi kekuasaan, belum mengguratkan pesan perubahan subtansial, sebagaimana diharapkan masyarakat kebanyakan. Terlebih lagi kaum miskin, yang selama ini senantiasa mengalami marginalisasi. Jumlah dan kualitas kemiskinan makin membengkak, pengangguran makin bertambah, dan arus mobilitas ke kota karena soal-soal kelangkaan sumberdaya ekonomi di desa, makin “membunuh harapan” peningkatan kelas. Apalagi munculnya kebijakan-kebijakan baru, atau regulasi yang condong berhaluan neo-liberalis, menggeser paradigma kerakyatan sekaligus mematahkan perjuangan perwujudan agenda pro-kaum miskin sebagai fondasi kesejahteraan warga.[4]
Itulah yang dinilai oleh kalangan aktivis, bahwa proses reformasi secara sosial ekonomi belum dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat. Bahkan, politik sekalipun makin menyusut kualitasnya, terjerembab pada kemandegan dan distorsi, baik itu bersumber karena pembajakan oleh elit politik, maupun demokrasi oligarkhis yang makin menyisakan banyak masalah dan ironi.[5] Gumpalan problem di atas, tentu bukan sekadar diakibatkan oleh ketidakjelasan arah reformasi saat fase-fase awal. Akan tetapi, kemungkinan juga karena kontribusi ulah dan perilaku buruk rezim masa lalu (orba), yang senantiasa melakukan sabotase birokrasi.[6]
Berbagai langkah politik warga membendung dan mengatasi segala macam masalah itu, memang bukan pekerjaan mudah. Pengalaman pahit makin merisauan masyarakat, terutama banyaknya pengingkaran agenda reformasi. Kerisauan dan sinisme makin mencuat, menyaksikan berbagai jebakan pragmatisme yang selalu menghantui irama dan dinamika lokal. Banyaknya kelompok yang pada mulanya dipandang berhaluan reformis, tetapi lama-kelamaan terjebak masuk dalam pusaran perayaan pragmatis, berebut “kue reformasi” yang ditandai oleh absennya etika berpolitik. Bahkan lunturnya kepercayaan.
Kemerosotan kepercayaan makin berlangsung saat reproduksi ketegangan antar kelompok sipil dalam advokasi kebijakan makin menebal, yang seringkali diiringi sikap dan tindakan yang saling berbenturan. Propaganda buruk antar aktivis muncul, meski hanya berkutat pada perbedaan pilihan strategi, tanpa ditopang komunikasi antar mereka. Perselisihan tanpa kompromi dan negosiasi, justru mengurangi energi bagi bangunan konsistensi kesadaran dalam perjuangan. Itulah, yang disebut bagian dari problem konsolidasi.
Seputar Perencanaan dan Penganggaran
Secara teoritik, anggaran merupakan instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan roda kekuasaannya. Dalam skema kebijakan, keputusan alokasi sumber daya untuk berbagai keperluan berupa pengeluaran setiap tahunnya, tercermin dalam APBN maupun APBD. Dalam prakteknya, anggaran tak terlepas dari sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi, sekaligus menjadi mediasi berbagai kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks demikian, kebutuhan atau kepentingan itu seringkali memiliki bobot prioritas yang relatif sama. Dari sanalah diperlukan pilihan-pilihan memutuskan mana yang akan didanai terlebih dahulu. Tidak heran jika atas pertimbangan itu pada akhirnya berbagai pihak dan kelompok kepentingan akan berebut pengaruh didalam memutuskan alokasi anggaran.[7] Itulah yang disebut dengan anggaran sebagai medan tempur strategis dalam politik kebijakan pembangunan.
Dalam pengertian yang luas, anggaran memiliki fungsi distributif, yang diartikan bahwa suatu anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Sebagai fungsi alokasi sumberdaya, anggaran harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengatasi kesenjangan serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi perekonomian[8]. Untuk itulah,  penyusunan anggaran harus mempergunakan prioritas kebutuhan dasar bagi masyarakat, apa yang akan dipenuhi, memperkirakan sumber daya yang dimiliki pada tahun yang akan datang, pelayanan atau pembangunan apa yang akan diberikan pemerintah untuk satu tahun ke depan.[9]
Karena itu, anggaran dapat dianggap sebagai “alat perjuangan” masyarakat secara kolektif, untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Pun demikian, anggaran juga dianggap sebagai sumberdaya, agar mampu meraih kemakmuran dan kesejahtaraan. Dari perspektif kebutuhan warga negara, daftar prioritas masyarakat tidak lain adalah: yakni pemenuhan hak-hak dasar masyarakatnya seperti pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja  dan jaminan sosial.
Sebagaimana diulas oleh Yuna yang menurunkan pemikirannya dari Stiglitz (2002), partisipasi warga merupakan sine qua non untuk kebijakan yang pro rakyat miskin, yang terepresentasikan dalam anggaran.[10] Partisipasi warga dalam perencanaan dan penganggaran menjadi cara untuk memastikan pembangunan yang berkeadilan terhadap rakyatnya. Sebab, perencanaan dan penganggaran adalah proses yang menentukan ke arah mana anggaran publik (APBN/D) telah memihak kepentingan rakyatnya (pro-poor).
Partisipasi warga yang sungguh-sungguh dalam perencanaan penganggaran, memerlukan pergeseran cara pandang, yakni tidak lagi memandang warga sebagai obyek dari pembangunan. Gaventa dan Valderama (2001) merumuskan,  bahwa dalam berbagai pengalaman, partisipasi warga telah menggeser konsep partisipasi “….dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’, menuju kepada pelbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”.[11]
Disanalah persoalan itu selalu muncul. Meningkatnya derajat partisipasi formal, yang didorong dalam sketsa demokratisasi lokal, nampaknya belum berkorelasi positif dengan derajat perubahan kebijakan secara nyata. Bahkan partisipasi itu, seringkali terjebak dalam formalisasi. Menyangkut perencanaan pembangunan dan penganggaran, sesungguhnya secara normatif telah tertuang beberapa regulasi. Sebut saja misalnya, berkenaaan dengan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), yang mensyaratkan pendekatan partisipasi, telah diatur melalui UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan  UU No 32/2004 tentang Pemerintahan daerah.[12]
Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, yang diatur dalam dua regulasi tersebut, ternyata membentur proses penganggaran daerah. Proses penganggaran ini mengikuti regulasi yang khusus mengaturnya, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 33/2004 tentang perimbangan dana pemerintah pusat dan daerah.
Meski kehendak regulasi berupaya mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, namun dalam praktiknya yang sering terjadi di banyak daerah adalah disconnection antara hasil Musrenbang kabupaten dengan posting alokasi belanja anggaran. Hasil Musrenbang dalam bentuk daftar skala prioritas (DSP), tidak dijadikan referensi  nyata dalam posting alokasi anggaran oleh tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) dan panitia anggaran (Panggar) DPRD. Karena itu, kami memahami bahwa anggaran daerah cenderung disusun secara oligarkis oleh eksekutif dan legislatif, sehingga tidak bisa disentuh (untouchable) oleh partisipasi masyarakat.[13]
Padahal, Permendagri No.59/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13/2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, memungkinkan masyarakat untuk mengetahui akses informasi yang seluas-luasnya tentang keuangan daerah. Dalam cara pandang kritis, terjadinya elitisasi dan oligarkhi proses perencanaan dan penganggaran, berakibat pada kecenderungan formalisasi Musrenbang yang tidak bisa dijadikan tolok ukur perencanaan yang partisipatif dan transparan.
Wajar saja, jika akhirnya output Musrenbang dan penganggaran, dalam bentuk APBD, tidak sesuai harapan. Hal ini biasanya tercermin dari, besaran partispasi warga dalam Musrenbang tidak berkorelasi positif atas alokasi anggaran yang semestinya diperuntukkan untuk masyarakat.
Apalagi, disejumlah kasus menunjukkan modus-modus perilaku aktor-aktor yang memanfaatkan secara informal proses kebijakan perencanaan maupun penganggaran, yang menerobos jalur formal (prosedural). Tidak mengherankan, jika akhirnya arena penganggaran memperlihatkan dua gerak sirkuit: arus formal dan informal dalam mempengaruhi kebijakan perencanaan dan penganggaran, yang berujung pada abainya kepentingan masyarakat luas, apalagi kelompok marginal.[14] Kontestasi formal seringkali berbeda dengan geliat penetrasi aktor-aktor informal, termasuk jaringan agencies dalam insitusi pengambil kebijakan. Disanalah, tidak jarang senantiasa muncul ”penumpang gelap” kebijakan, yang mendistorsi kebijakan.
Fakta-fakta seperti yang dipaparkan di atas, menjadi tendensi yang terjadi di berbagai daerah. Pengalaman yang tertuang dalam buku ini, memberikan petunjuk jelas bahwa akibat kekosongan payung hukum daerah (Perda, Perbup), sebagaimana terjadi di Bantul dan Kebumen, menyebabkan proses perencanaan berlangsung hanya atas bimbingan SEB Mendagri dan Bappenas. Padahal regulasi itu seringkali tidak terumuskan secara detail dengan menekankan bobot pada partisipasi sipil. Justru sebaliknya, pelaksanaan Musrenbang sebagaimana diperlihatkan secara nyata dalam perencanaan pembangunan, cenderung didominasi elit dan monopoli birokrasi. Dalam bahasa sederhana, terjadi formalisasi partisipasi sipil, dan karena itu tidak berlebihan jika keterlibatan warga menjadi sebentuk aksesoris.
Teknokratisasi Minim Partisipasi
Skema perencanaan dan penganggaran semestinya mensyaratkan perpaduan antara pendekatan teknokrasi, politik dan partisipasi. Kaitan antar pendekatan tersebut merupakan konstruksi demokratisasi kebijakan. Namun faktanya, kecenderungan modus perencanaan dan penganggaran daerah masih bersifat terlalu teknokratis-politis, tidak diimbangi dengan aspek partisipasi yang nyata.
Sebagai ukuran, seperti disinggung di depan, bahwa disetiap hasil Musrenbang yang diolah pada tingkat SKPD, selalu mengalami pemangkasan di lintasan eksekutif. Apalagi, pada fase penganggaran, senantiasa absen dari pantauan dan keterlibatan warga. Tahap krusial yang perlu diperhatikan, karena  sekaligus menjadi titik strategis penentu perencanaan, tidak lain ada pada tahap perumusan program/kegiatan SKPD yang dikoordinasi Bappeda.[15]
Proses dan rute dari bawah, sesungguhnya sangat bergantung bagaimana pembahasan masuk dalam sistematisasi dan rasionalisasi dalam kacamata SKPD yang didalamnya terjadi “interaksi sekaligus” pertarungan antar sektoral. Arena ini, memang sebagian besar memiliki modus yang sama mengenai kecenderungan para kepala dinas memperjuangkan segala usulan masing-masing instansi berbasis keinginannya.
Silang kepentingan dengan nalar teknokratik, berproses dengan (cenderung) mengabaikan segala dokumen usulan dari hasil Musrenbang. Bahkan tragisnya, produk perencanaan teknokratik tersebut meninggalkan koherensinya dengan  RPJMD, Renstra, maupun Renja SKPD. Hal itu bisa terjadi karena mekanisme perencanaan pembangunan telah “terbakukan dalam sangkar birokratik”.
Perangkat kelembagaan dan mekanisme perencanaan jika sudah memasuki area kabupaten, daftar usulan dari hasil Musrenbang mengalami penyusutan secara sistematik, dengan tergantikan oleh bermacam skema yang berasal dari dinas-dinas (SKPD). Hal semacam ini memperlihatkan terjadinya gap (kesenjangan), antara model perencanaan dari bawah berbasis spasial (desa), yang menunjukkan pendekatan partisipasi, berhadapan dengan model perencanaan berbasis sektoral (daerah/kabupaten), yang mencerminkan teknokratisasi.[16]
Salah satu akar penyebab kesenjangan, sebagaimana disinyalemen banyak kalangan, bahwa jika perencanaan desa (dari bawah) itu masih melekat dalam perencanaan daerah, sebagaimana diatur dalam tata kelembagaan Musrenbang, kemungkinan berlanjutnya dominasi kabupaten akan terus berlangsung.[17] Secara hipotetis dapat dikatakan, set up tata kelembagaan perencanaan pembangunan daerah, senantiasa menjadi perangkap formalisasi partisipasi dan hanya memperkuat dominasi SKPD.
Memilih strategi penguatan partisipasi
Dalam menjalankan visi dan misi sesuai mandatnya sebagai organisasi masyarakat sipil, pengalaman sejarah Institute for Research and Empowerment (IRE) sejauh ini, lebih memberikan bobot perhatian penguatan masyarakat sipil dan demokratisasi.[18] Kendatipun, dalam prosesnya tidak semata tercurah pada strategi advokasi berbasis masyarakat sipil semata, namun mempertimbangkan konteks masalah. Model kerja pemberdayaan yang dilakukan, jika dikelompokkan, setidak-tidaknya ada tiga level, yakni:
  1. advokasi kebijakan, yang disasarkan pada upaya-upaya sistematik mempengaruhi regulasi dan tata kelembagaan kebijakan baik di tingkat desa, kabupaten, propinsi sampai dengan nasional;
  2. pengembangan dan perluasan wacana kritis, untuk memperluas dan memperdalam kesadaran kritis publik (berbagai aktor) dalam proses pemberdayaan dan demokrasi; dan
  3. pengorganisasian dan pembangunan kapasitas kepada aktor-aktor strategis maupun (negara dan masyarakat) dengan maksud intervensi kemampuan dalam perubahan ke arahgovernance yang baik dan sehat serta untuk memperlancar demokratisasi.
Dihadapkan pada konteks dan semesta masalah, sebagaimana dieksplorasi di atas itulah, pilihan strategi advokasi dalam rangkaian program PBET ini, lebih memprioritaskan dan memberi bobot lebih pada penguatan masyarakat sipil.[19] Dalam rangkaian program selama ini, ibaratnya memasuki belantara perumusan kebijakan, yang pada umumnya memiliki gambaran akar masalah yang sama, kendatipun bentuk dan ekspresi bisa beragam pada masing-masing daerah. Dengan begitu, rumusan perangkat strategi tentu senantiasa mempertimbangan konteks daerah dimana lingkup advokasi dituntut mengadaptasi struktur sosial, konfigurasi politik lokal serta aspek kultural.
Berdasarkan pertimbangan pada aspek keterbatasan sumberdaya, cakupan materi pembelajaran, serta fokus masalah yang dirumuskan, program ini hanya mengambil 2 lokasi sebagai basis advokasi, yakni Kabupaten Bantul (DI Yogyakarta) dan Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah). Antara kedua kabupaten tersebut tentu memiliki karakteristik yang cukup berbeda, serta dengan unit analisis dari sisi aktor kebijakan, arena, isu, serta muatan advokasi yang terkandung di dalamnya. Hal itu berkonsekuensi pada titik tekan strategi advokasi yang juga relatif berbeda diantara keduanya.
Secara umum, jika disistematisasi ke dalam tahapan advokasi, program PBET ini mencakup tahapan berikut:
  1. penguatan civil society organisation (CSO);
  2. mendorong perencanaan pertisipatif (Musrenbang);
  3. mendorong anggaran pro-poor;
  4. memonitoring dan menelusuri belanja daerah;
  5. monitoring dan evaluasi pelayanan publik.
Pada masing-masing tahapan itu, kemudian terumuskan bermacam model pendekatan yang diturunkan kedalam kegiatan-kegiatan yang saling berkait.
Bermacam pengalaman yang tersusun dalam alur tulisan, sebagaimana diulas pada masing-masing bab dalam buku ini, dapat dipetik pengalaman berharga.Betapa kerumitan struktur kebijakan, arena dalam aktor yang berkepentingan dalam proses anggaran, menuntut kecerdasan para aktivis dalam inisiatif advokasi.
Sebagai perbandingan, dikutip dari pengalaman Makasar dan Kendari misalnya, bermacam jebakan formalisasi dalam arus kebijakan yang selama ini mengitari proses politik anggaran seringkali terlewat dari pantauan para aktivis. Akibatnya, intervensi untuk membawa “suara warga” mempengaruhi interaksi kuasa terjadi dislokasi. Suatu istilah, dimana suara “perlawanan” lepas dari track riil, dimana proses formal tak bersambung dengan politik yang bekerja di aras nyata. Istilah ini meminjam pendekatan power analysis yang dikembangkan dalam program-program driving change yang mulai dipopulerkan para aktivis dan lembaga donor.[20]
Buku ini, dengan segenap kekuatan pada derajat analisis pengalaman atas advokasi di medan tempur anggaran, diharapkan akan menjadi bahan refleksi para aktivis maupun pengampu kebijakan politik anggaran di aras lokal. Tentu bukan bermaksud replikasi, atau universalisasi. Segala keterbatasan yang dikandungnya, memberi harapan pula untuk kritik dan input, agar setiap upaya perubahan pada level proses selalu bermakna, andai belum menghadirkan perubahan langsung dalam waktu pendek. Pengetahuan dengan basis pengalaman yang terakumulasi dari manapun, semoga kian mencerahkan sesama.

[1] Sugeng Bahagijo dan Rusdi Tagaroa, Orde Partisipasi, bunga rampai partisipasi dan politik anggaran, Perkumpulan Prakarsa bekerjasama dengan CePAD, TAFF, INFID, IPGI, FPPM, BIGS, GAPRI, IRE, Migrant Care dan FF, Jakarta 2005.
[2] Darmawan Triwibowo (Ed), Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. LP3ES, Jakarta. 2006.
[3] Arie Sujito, “Peta Aktor dan Kontestasi Kepentingan dalam Arena Politik Perencanaan dan Penganggaran di Kota Makasar”, (Background Paper, program: Lord of the Arena: Analyzing the Power Play among Local Actors that  Shapes the Pro Poor Reform in Eastern Indonesia’s Two District after Decentralization”. Perkumpulan Prakarsa-Oxfam GB, 2008)
[4] Arie Sujito, “UUPM dan Krisis Kapitalisme Global”, Diskusi Konsolidasi Demokrasi, diselenggarakan oleh kelompok kerja jaringan demokrasi (KKJD), Magelang 6 Juni 2007.
[5] Olle Torquist dkk, Politisasi Demokrasi, Demos, Jakarta, 2005.
[6] Gerry Van Klinken dkk, Politik Lokal di Indonesia, 2007.
[7] Yuna Farhan, “Kerangka Kebijakan Partisipasi Masyarakat dalam Penganggaran, (makalah draft buku sumber, Prakarsa, 2007).
[8] Empat fungsi anggaran lainnya yaitu fungsi otorisasi,  perencanaan, pengawasan dan stabilisasi. Fungsi otorisasi anggaran mengandung arti anggaran menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan; fungsi perencanaan bahwa anggaran daerah harus menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun bersangkutan; fungsi pengawasan anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah suatu penyelenggaraan pemerintahan sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.(ibid)
[9] Ibid.
[10] Lebih lanjut mengenai argument ini dapat dilihat pada Engaged Governance and Citizen Participation in Pro-Poor Budgeting, United Nation (2005).
[11] Yuna, op cit.
[12] Arie Sujito, 2008, op cit.
[13] Seputar persoalan ini bisa dilihat pada Laporan Penelitian PBET (Participatory Budgeting and Expenditure Tracking), IRE Yogyakarta, 2007 (tidak diterbitkan).
[14] Arie Sujito, 2008, op cit.
[15] Jurnal Sosdem, FES 2008.
[16] Bagian ini dapat dilihat pada bab 1.
[17] Pembahasan hal ini bisa dilihat dalam “Naskah Akademik RUU Desa”, disusun oleh Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2007 (naskah tidak dipublikasikan).
[18] Lihat profil IRE dalam website: www.ireyogya.org.
[19] Bagian ini dapat dilihat pada bab 2.
[20] Dapat dirujuk dari pemikiran OXFAM-GB, lihat Sugeng Bahagijo dan Dharmawan (2007).

0 komentar: